Setelah perang dingin antara Uni sovyet dan Amerika Serikat (AS) usai, secara mengejutkan banyak sekali negara-negara yang pecah. Uni Sovyet sebagai negara terbesar di Asia, akhirnya pecah menjadi sekitar 15 negara seperti Rusia, Ukraina, Belarus, Moldova, Estonia, Latvia, Lituania, Georgia, Armenia, Azerbaijan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan, Tajikistan, dan Turkmenistan.
Begitu juga dengan Cekoslowakia, pecah menjadi dua negara merdeka yaitu Slovakia dan republik Ceko. Jangan dilupakan Yugoslavia yang pecah menjadi Slovenia, Kroasia, Serbia (termasuk wilayah Kosovo dan Vojvodina, Makedonia, Bosnia dan Hersegovina dan Montenegro. Selain itu ada juga beberapa negara lainnya.
Sebagian besar dari negara itu sepakat berpisah karena Sosiologis; yaitu etnis yang berbeda merasa tidak nyaman bergabung. Sehingga mereka memisahkan diri. Meski di kawasan yang sama, namun secara etnis berbeda, secara psikologis mereka tidak merasa ada kesamaan pandangan atau ikatan emosional. Karena itu mereka cenderung berpisah.
Berbeda dengan Indonesia yang punya banyak perbedaan sosiologis, yaitu puluhan etnis, ratusan bahasa lokal, banyaknya aliran kepercayaan dan agama yang berbekembang di Nusantara (Indoensia), namun itu bukan halangan untuk mewujudkan kemerdekaan. Persoalannya adalah kolonialisme di Nusantara amat kental dan membuat penduduk di banyak wilayah Nusantara menderita.
Kita mengingat perang Jawa yang di pelopori oleh Pangeran Diponegoro yang membuat kolonial Belanda harus mengeluarkan banyak biaya untuk ongkos perang. Belum lagi pertempuran dahsyat di Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Itu semua muncul didasari oleh persamaan psikologis yaitu keengganan kita untuk kembali dijajah.
Keesamaan rasa itu secara psikologis kuat untuk mewujudkan dan mempertahankan Indonesia. Di saat-saat awal kita mendapat perlawanan dari Belanda dan beberapa negara, namun tekad kita tetap untuk merdeka. Beberapa pertemuan yang difasilitasi oleh PBB harus kita lampaui hanya untuk pengakuan sebagai negara berdaulat.
Kini kita sudah 78 tahun merdeka. Dan banyak sekali tantangan yang harus kita hadapi termasuk keinginan untuk mengganti filosofi negara dari Pandacila ke syariat Islam. Saya pikir pihak-pihak yang mengusulkan itu sesekali harus membaca sejarah lagi Ikatan emosional dan psikologis itu secara konkret dapat dipahami sebagai perasaan saling memiliki satu sama lain dan itu bernama bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H