Dulu, banyak dari kita yakin bahwa para pelaku dan pemuda yang berhasil direkrut untuk melakukan kegiatan radikalisme dan terorisme adalah orang-orang yang secara ekonomi lemah dan menginginkan keadilan dalam kehidupan mereka. Kehidupan mereka dinilai buruk karena banyak hal tidak berpihak pada mereka. Itu diyakini sebagai motivasi utama bagi seseorang untuk melakujkan bom bunuh diri atau pergi ke daerah lain untuk memperjuangkan keadilan menurut ukuran mereka sendiri.
Namun seiring waktu, kita menemukan bahwa hal itu tidak tepat. Banyak orang yang kepincut dengan faham radikal dan berangkat ke Suriah adalah orang atau keluarga yang berkecukupan. Ada orang yang cukup berada dan punya sawah sangat luas di Sumatera barat. Ada seorang pejabat di cabang BUMN yang akhirnya membawa keluarga mereka ke Suriah.
Yang paling akhir adalah keluarga yang berkecukupan di Surabaya dimana mereka melakukan pengeboman di tiga gereja sekaligus dan dilakukan oleh seluruh anggota keluarga termasuk istri dan anak-anak mereka. Selain itu terjadi pengeboman di Polwiltabes Surabaya dan di rusun daerah Sidoarjo. Lalu kita mendengar bahwa ada kaitan bo tiga gereja Surabaya dengan seorang guru ngaji keluarga pelaku.
Rentetan ini memberikan gambaran kepada kita bahwa seseorang atau sebuah keluarga menjadi radikal bahkan bisa kita klasifikasikan sebagai teroris adalah sesuatu yang tidak sederhana. Keluarga Dita di Surabaya sebagai pelaku bom gereja itu misalnya sejak mahasiswa diketahui sebagai anggota kegiatan ekstrakurikuler yang mengarah ke kegiatan radikal.
Karena ketidaksederhanaan soal radikal dan terorisme, pencegahan dan penindakan soal ini memang memerlukan pelibatan banyak pihak : pemerintah, akademisi, pelaku usaha /bisnis, media dan pemerintah. Pelibatan atau kolaborasi multipihak ini dinilai sangat penting karena diyakini dapat membantu memberi tekanan bagi kegiatan terorisme di Indonesia.
Dunia pendidikan seperti tergambar di atas memperlihatkan bahwa bidang itu juga memegang peran penting dalam 'membuka atau menutup keran' pengaruh radikal di dunia akademisi. Jika radikalisme tumbuh di dunia pendidikan, bisa dipastikan itu akan riskan dan membuahkan sesuatu yang negatif. Kita tentu ingat seorang dosen yang memiliki puluhan bom molotov yang akan diledakkan di Jakarta. Selain seorang dosen aktif, dia adalah seorang motivator yang sering diundang untuk memberikan semangat belajar bagi mahasiswa dan pemuda.
Begitu juga di kalangan pemerintahan seperti yang sering disorot adalah ASN yang tak jarang terlibat di kegiatan radikal. Ini kita bisa lihat pada hasil penelitian beberapa kalangan yang memperlihatkan bahwa ceramah di masjid-masjid BUMN bertone radikal.
Karena itu penting bagi pemangku kepentingan pencegahan dan penindakan terorisme untuk mengkolaborasikan pihak-pihak tadi sebagai upaya menciptakan rasa aman bagi masyarakat. Tentu ini harus kita dukung bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H