Lihat ke Halaman Asli

Nak, Kamu Yakin Mau Jadi Seniman?

Diperbarui: 25 Agustus 2016   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: planet-mag.com

Pernah membayangkan anak kita nanti akan bekerja di mana? Atau merasa khawatir apakah pekerjaannnya akan sesuai dengan minat dan bakatnya?

Banyak orang tua saat ini berupaya agar anaknya bersekolah di sekolah terbaik. Tujuannya untuk memastikan anaknya mendapatkan masa depan yang lebih cerah dan lebih pasti. Tidak heran anak-anak sejak dini sudah dibekali dengan berbagai macam ‘bekal’ tambahan, maksudnya agar anak mampu bersaing untuk masuk ke sekolah favorit terbaik. Kondisi ini memicu anak digiring untuk mengasah otak kirinya secara lebih intensif.

Ada kalanya orang tua menambah bekal tersebut dengan les di bidang seni, maksudnya untuk menyeimbangkan pertumbuhan otak kanan si anak. Tapi jumlah waktu yang timpang ini membuat kemampuan seni si anak jauh lebih tidak berkembang dibanding kemampuan akademisnya. Hal ini beralasan, karena orang tua menganggap ilmu dan kemampuan seni hanya sebagai hobi dan penunjang saja, bukan sebagai modal dan bekal utama mencari pekerjaan.

Kondisi Lulusan Baru di Indonesia
Menurut data BPS Bulan Agustus 2014, angkatan kerja di Indonesia mencapai lebih dari 120 juta, dan hampir 6% di antaranya menganggur. Kalau ditilik lebih jauh, dari data itu, ternyata yang bekerja lebih dari 35 jam seminggu atau disebut bekerja penuh waktu hanya skitar 69%.

Persaingan yang ketat ini menambah khawatir orang tua dan memastikan anaknya memilih bidang yang tepat untuk masa depannya. Apakah bidang seni akan dilirik oleh orang tua? Menurut sumber berita online liputan6.com, lulusan seni dan desain menempati urutan 3 besar dari lulusan dengan pengangguran terbanyak. Berikut urutan jurusan-jurusan tersebut:

  1. Film video dan seni fotografi, tingkat pengangguran lulusan baru, mencapai 12,9%, sedangkan proyeksi pertumbuhan kebutuhan lulusannya mencapai 13%,
  2. Seni rupa, tingkat pengangguran lulusan baru, mencapai 12,6%, sedangkan proyeksi pertumbuhan kebutuhan lulusannya berkisar 5%,
  3. Seni komersial dan desain grafis, tingkat pengangguran lulusan baru, mencapai 11,8%, dengan proyeksi pertumbuhan kebutuhan lulusannya mencapai 13%.

Si Sulung Mau Jadi Seniman
Sontak saya jadi khawatir saat si sulung menyampaikan keinginannya menjadi seniman. Data statistik di atas rasanya bukan cerminan yang menjanjikan. Nanti mau jadi apa, Nak? Kerja di mana? Pertanyaan-pertanyaan bertubi-tubi saya lontarkan sebagai orang tua yang berlatar belakang pendidikan eksakta. Saya dan suami lulusan teknik berpredikat tukang insinyur.

Saat hamil si sulung, saya sedang serius-seriusnya berjuang dalam menyelesaikan studi master engineering saya. Berpuluh kali pelajaran dan beberapa kali ujian saya lalui ketika dia dalam perut. Saat dia lahir pun, saya sedang menempuh ujian akhir. Saya berpikir (tepatnya yang saya inginkan), mestinya berbagai rumus dan hitungan itulah yang sampai ke dunianya di dalam rahim.

Tidak banyak les seni yang dia ikuti, kalaupun sempat ikut les piano, gitar, biola dan manga, itupun putus tengah jalan. Keunggulannya justru pada permainan yang membutuhkan koordinasi tubuh, dia terampil memainkan hula-hoop, bermain sepatu roda, ice skating dan sejenisnya. Masa tumbuh kembang nya tidak banyak terekpos dunia seni.

Pertama kali mendengar si sulung mau serius belajar seni saat dia kelas 1 SMP. Saat itu saya anggap remeh pilihan dia, namanya juga anak, minat belum pasti, masih akan berubah-ubah. Di sisi lain, saya tetap mencekoki dia dengan cerita hebatnya menjadi insinyur, dokter, ekonom, dan profesi standar lainnya.

Ternyata kondisi ini tidak mematahkan semangatnya. Secara konsisten, dia serius mengembangkan sendiri minatnya di bidang desain dan foto. Beberapa kali dia menggarap desain poster dan tata panggung acara sandiwara sekolahnya secara kreatif. Banyak pujian disampaikan orang tua teman si sulung melihat hasil karya kreativitasnya.

Sketsa wajah. Instagram 27 Januari 2013. Dokpri.

Menohok. Itu kata yang tepat saat menyadari situasi ini. Mengapa orang lain mampu menghargai hasil karya seninya, sementara saya ibunya sendiri, bukannya mendukung, justru malah mematahkan tunas-tunas semangatnya yang tumbuh tidak terbendung. Saya mulai berusaha lebih tajam melihat potensinya, tes sidik jari pun dilakukan untuk ‘meyakinkan diri saya’ akan kemampuan anak sendiri.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline