Lihat ke Halaman Asli

Cintra Afridiyana

Juru Bahasa Isyarat

Kilas Balik: HORAS AMANG, Tiga Bulan yang Memberi Makna

Diperbarui: 1 September 2016   01:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Teater Legiun

Sabtu malam 27/08/2016, saya berkesempatan untuk menyaksikan sebuah pementasan teater yang berjudul Horas Amang di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pementasan teater ini digagas oleh sebuah kelompok teater bernama Teater Legiun. Teater Legiun berawal dari kelompok teater gereja yang kemudian melebarkan sayapnya untuk dapat menebarkan nilai-nilai positif ke cakupan yang lebih luas lagi, yaitu masyarakat umum. 

Mereka memiliki tujuan yaitu mengedukasi masyarakat mengenai nilai-nilai/budi luhur melalui pertunjukkan teater. Tidak sampai di situ, mereka juga menyumbangkan hasil penjualan tiket pada tiap pertunjukkan mereka untuk pihak-pihak yang memerlukan bantuan finansial. Pada pementasan kali ini mereka menyumbangkan hasil penjualan tiket ke Komunitas Gumul Juang, sebuah organisasi pelayanan teologi sosial yang didirikan oleh beberapa alumni dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Jakarta serta salah seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara tahun 2009.

Pementasan yang berjudul Horas Amang ini merupakan produksi ke-9 Teater Legiun. Horas Amang berkisah tentang sebuah keluarga yang terdiri dari seorang duda, Amang Binsar Sagala (Amang, sebutan bapak dalam bahasa Batak) dan ketiga anaknya. Ketiga anaknya itu adalah Tarida, Maruli dan Pardamean (Dame). Mereka bertiga terbuai dengan hal-hal duniawi melalui karir, jabatan dan uang.

Tarida, si anak pertama dan perempuan satu-satunya, bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan. Hidupnya disibukkan dengan pekerjaannya tersebut. Terlebih apabila bosnya - Pak Boston, telah menelepon dan menginstruksikan hal-hal menyangkut pekerjaan di kantor. Anak kedua Amang Sagala bernama Maruli. Ia bekerja sebagai dokter spesialis penyakit dalam. 

Hari-harinya hampir serupa dengan kakak sulungnya, disibukkan dengan pekerjaan. Sebagai dokter muda yang kinerjanya baik ia seringkali dipercaya atasannya - Pak William, untuk mengerjakan beberapa tugas penting. Terakhir, si bungsu, Pardamean atau yang kerap disapa Dame, adalah pemuda yang mencoba peruntungannya menjadi koki namun gagal karena ia keras kepala dan tidak bertanggung jawab. Kegemarannya berjudi membuat ia kewalahan dengan utang-utangnya.

Keluarga Amang Sagala hidup dan tinggal di sebuah permukiman bernama Kampung Toba. Kampung Toba bukanlah sebuah nama desa di Tapanuli melainkan sebuah permukiman bergaya Batak yang terletak di kota besar. Para perantau yang notabene adalah kelahiran Tapanuli, merasa senang tinggal di Kampung Toba karena dapat mengobati kerinduan mereka akan kampung halaman. 

Warga Kampung Toba yang juga merupakan sahabat karib Amang di antaranya adalah Togap, Gordon, Haposan, Parulian, dan Patar, si buta yang bijak. Mereka tak segan-segan menolong Amang di kala susah atau butuh bantuan. Terlebih Parulian - seorang pengacara yang juga teman main catur Amang, ia sudah dianggap seperti anak kandung Amang sendiri sebab seringkali ketiga anak Amang acuh tak acuh. 

Di rumahnya, selain bersama ketiga anaknya, Amang tinggal bersama adik perempuannya dan satu orang keponakan perempuan (anak dari adik perempuannya). Namboru (sebutan untuk adik perempuan amang) dan Nauli - anak perempuan namboru, tinggal di rumah itu sejak istri Amang meninggal dunia. Istri Amang berpesan agar namboru bisa menjaga dan merawat anak-anak Amang. Sejak itu rumah mereka terasa ramai dan hangat, walau menurut anak-anak Amang rumah itu kian sempit sebab Namboru dan Nauli ikut bernaung.

Suatu hari Amang Sagala berulang tahun. Amang memasak berbagai makanan untuk merayakan hari lahirnya itu bersama keluarga. Akan tetapi harapan untuk merayakan ulang tahun bersama anak-anaknya pupus karena ketiganya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tarida sibuk dengan tugasnya sebagai sekretaris Pak Boston, yang kebetulan hari itu juga berulang tahun. Ia baru ingat setelah Pak Boston mengingatkannya akan hari ulang tahun ayahnya. Pak Boston ingat, Tarida pernah mengatakan bahwa hari ulang tahun amangnya sama dengan hari ulang tahun Pak Boston. Setelah ingat, seketika Tarida menelepon dua adiknya untuk merayakan hari spesial itu di restoran Siantar. Segera mereka bertiga membuat janji dengan Amang untuk bertemu di restoran Siantar.

Berjam-jam Amang menunggu ketiga anaknya itu di restoran namun tak satupun dari mereka yang datang. Rupanya, lagi-lagi ada keperluan mendadak terkait pekerjaan mereka itu. Amang yang kecewa terpaksa pulang dan menyantap makanan yang telah ia masak sendiri di rumah bersama Namboru dan Nauli.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline