Lihat ke Halaman Asli

Gara-gara Kebutuhan, Bisnis Malah Jalan

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tak bisa dipungkiri bahwa hidup membutuhkan biaya. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, aktivitas kita tidak lepas dari beragam kebutuhan hidup yang membutuhkan biaya. Contohnya:


  • Mau tidur perlu beli kasur. Tidak pas rasanya kalau tidak dengan seprai, selimut, bantal, dan bantal gulingnya. Jika perlu tambahkan kelambu.
  • Gosok gigi. Butuh sikat gigi plus pastanya.
  • Saat mandi. Butuh sabun dan handuk.
  • Baju kerja, dasi, ikat pinggang, dompet.


Dan..wah, banyak sekali biaya hidup yang perlu ditanggung ya?

Memang, untuk urusan yang pokok dan biaya relatif kecil tidak perlu dibuat susah untuk memikirkannya. Apalagi jika 'sesuatu' yang bisa menjadi beban hidup tersebut sifatnya harus. Tak ada kata lain yang bisa diucapkan selain..."Abis gimana lagi, butuh sih". Kalau sudah butuh, masalah neraca keuangan keluarga bisa jadi terabaikan.

Nah, terkait dengan menyiasati biaya hidup ini, saya punya pengalaman menarik. Ya, tentunya menarik bagi diri saya sendiri dan bisa jadi Anda semua pernah mengalaminya.

Orang tua saya biasa mengonsumsi kopi herbal dengan merk tertentu yang dijual lewat sistem MLM. Dalam satu bulan, beliau bisa menghabiskan satu pak kopi berharga 60.000/pak tersebut. Jika menjadi anggota MLM, saya bisa mendapatkan harga anggota yang lumayan murah.

Suatu saat, terbersit begitu saja keinginan untuk berjualan kopi tersebut. Alasan awalnya sederhana.


  1. Mendapatkan potongan harga
  2. Coba-coba dagang. Kalau pun tak laku, bisa dikonsumsi sendiri. Karena niat awalnya memang untuk itu.


Segera saja kami mengontak salah seorang agen dan meminta proses jual-beli keagenan tanpa perlu menjadi anggota MLM-nya. Kesepakatan pun terjadi, dengan konsekuensi bahwa kami tidak mendapatkan target penjualan dalam waktu tertentu, sekaligus tidak berhak atas bonus-bonusnya. Deal!

Usaha mulai berjalan. Letak rumah yang cukup strategis di pinggir jalan membuat rekan penyalur menjadi lebih respek. Kami dipinjami satu buah etalase.

Seiring berjalannya waktu, banyak yang datang berkunjung. Lebih banyak pengunjung berasal dari para member sehingga kami sering kehabisan stok. Nah, karena yang datang kebanyakan member, ada negosiasi ulang seputar harga pengadaan. "Kalau yang beli member semua bisa abis di tenaga, nih," pikir saya ketika itu. maklum, kami sama sekali tidak berharap pada poin. Akhirnya, ada sedikit tambahan diskon.

Dari sini, sudah ada tiga keuntungan yang kami dapatkan.


  1. Stok kopi untuk orang tua terpenuhi. Bayangkan, saking larisnya, seringkali kami nggak dapat jatah ketika itu. Selain itu, harganya pun jadi lebih murah karena dapat harga agen.
  2. Biar sedikit, tetap ada keuntungan yang bisa diperoleh dari penjualan langsung.
  3. Banyak orang berkunjung untuk membeli kopi, yang tentunya lebih banyak yang tidak kami kenal sebelumnya.


Melihat banyaknya orang yang berkunjung, muncul ide untuk menambah variasi dagangan. Di samping kami juga mendapat informasi tren herbal yang tinggi di kalangan masyarakat. Informasi lain juga datang dari para pembeli yang menanyakan produk herbal lainnya. Masa cuma kopi, sih?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline