Lihat ke Halaman Asli

Dari Pekerja Kantoran Menjadi Pekerja Jalanan

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari yang lalu ketika saya sedang lesehan di masjid dekat kampus Al-Hikmah, datang seorang parubaya yang berusia 40-an tahun. Setelah memberi salam dan menjabat tangan saya, bapak tersebut – belum sempat tukar nama – duduk di depan saya dan bertanyak kepada saya tentang kuliyah di Al-Hikmah.

Sayapun memberi beliau informasi-informasi yang saya ketahui tentang kampus tempat saya belajar tersebut, setelah agak panjang lebar saya jelaskan, Nampak dari mimik beliau, beliau sangat ingin belajar di al-Hikmah. namun yang menjadi ibah saya adalah jawaban beliau, beliau berkata kepada saya kalau beliau takut tidak bisa membayar uang kuliah yang sebenarnya juga lumayan terjangkau. Namu saya tidak memaksa beliau untuk kuliyah. Saya hanya memberikan saran-saran kepada beliau bagaimana cara belajar agama tanpa masuk universitas.

Saya memberi beliau saran supaya membeli buku-buku agama dan membacanya sendiri. Tapi ternyata saran saya itu sudah beliau laksanakan, bahkan beliau sering keliling ke masjid-masjid untuk menghadiri kajian secara gratisan.

Dalam benak saya, saya sangat iri dengan keseriusan beliau. Walaupun umurnya sudah lumayan, dan banyak tanggungan keluarga, beliau masih memiliki azam untuk mencari ilmu agama. Sebuah karakter yang jarang kita temui di negeri ini.

Awalnya, saya mengira beliau adalah orang yang berekonomi pas-passan. Hanya mengenakan kaos dan celana sederhana di atas mata kaki dan berjengot tipis. Setelah saya Tanya tentang pekerjaan beliau, ternyata perkiraan saya itu benar. Beliau bertutur kepada saya jika ekonominya saat ini sedang seret, sebab itulah beliau tidak berani untuk mendaftar kuliyah lagi. Untuk pekerjaan, beliau hanya seorang penjajah buku-buku agama, istilannya reseller. Beliau mendatanggi sekolah-sekolah untuk menawarkan buku-buku kepada kepala sekolah. Kadang diterima dan juga sering ditolak. Begitulah tutur beliau kepada saya.

Setelah saya bertanyak-tanyak lebih jauh lagi,ternyata beliau adalah seorang sarjana perbangkan, lulusan tahun 90-an dari sebuah universitas swasta di daerah Ciputat. Dan ternyata juga, beliau adalah mantan karyawan bank, tak tanggung tanggung, beliau sudah perna bekerja di 4 bank konvensional terkemuka di Indonesia selama 15 tahun. Dengan gaji tinggi dan jaminan kehidupan yang matang. Bahkan, beliau perna ditawari menjadi kepala cabang bank tempatnya bekerja. Dengan gaji 10 jt perbulan dan tunjangan-tunjangan lainnya yang jika ditotal sekitar 15 juta-an.

Namun, pergolatan batin terjadi pada diri beliau, setelah beliau terbuka hatinya untuk mencari wawasan ilmu agama, berpinda dari satu masjid ke masjid yang lainnya untuk mendenganrkan kajian, beliau akhirnya tahu kalau beliau itu sedang bekerja di tempat yang tidak benar, tempat yang “riba” ada di mana-mana. Beliau menjadi faham tentang riba dan konsekwensinya. Akhirnya setelah lama berkecimpung di dunia perbank-kan dengan kehidupan yang nyaman, beliau melepaskan semua kenyamanan itu demi menjauh dari yang namanya “Riba”. Beliau berkata “apa gunanya saya hidup banyak harta tapi dapat murka (gara-gara riba)”..

Sekarang beliau hanya seorang penjajah buku keliling, dengan ekonomi yang pas-pasan. Beliau berani meninggalkan dunia yang mega karena ketakutan beliau terhadap Allah dan hijrah menujuh kehidupan halal meskipun keringat harus lebih deras bercucuran dari badan.

Tak terasa kami berdua bebicang lama sampai menjelang mangrib. Setelah magrib beliau pamitan dengan saya dan mendo’akan supaya saya sukses. Sayapun membelas mendo’akannya dalam hati. Beliaupun kembali melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki dengan payang ditangan dan ransel kumuh di pinggang melangkah keluar bersama satu temannya yang penampilannya tidak jauh berbeda dari beliau.

Yang bisa saya ambil hikmah dari cerita beliau adalah, pertama, usia tidak perna menghalangi orang untuk menuntut ilmu, ilmu itu sebuah hal prinsipil yang harus dimiliki setiap insan, tanpa ilmu kita bisa jatuh pada lubang buaya namun tidak sadar jika kita berada dalam lubang buaya. Sebagaimana kisab bapak tersebut ketika bekerja di bank.

Yang kedua, beliau berani dan rela meninggalkan gemilapnya dunia karena takut terhadap dosa. Beliau telah berani berhijrah, dari pekerjaan di kantor yang ber-ace dengan fasilitas mencukupi menuju pekerjaan jalanan yang tidak mengenal kantor, pekerjaan yang mengharuskan kaki tetap melangkah demi mendapatkan sesuap nasi halal yang di dalamnya terdapat keberkahan hidup, plus penghasilan yang tidak karuan.

Yang ketiga, semangat beliau menjadi dorongan tersendiri bagi saya, di sela kesibukannya yang keras, beliau masih menginginkan untuk masuk dunia pendidikan lagi. Subhanallah. Semoga kita bisa mengambil ibrah dan hikmah dari kisah perjalanan beliau tersebut.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline