Lihat ke Halaman Asli

Meredam Ketegangan Indonesia-Australia dengan Perjanjian Kode Etik Intelijen

Diperbarui: 2 Maret 2018   09:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

australianfintech.com.au

Permasalahan hubungan internasional antara Indonesia dengan Australia selalu menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan. Sejak tahun 1995, hubungan antara kedua negara ini memang selalu mengalami pasang surut. Ketegangan di antara keduanya dimulai dari pembatalan kesepakatan pakta keamanan 1995 oleh Indonesia karena Australia dianggap terlibat dalam pembebasan Timor-timur. 

Permasalahan ini sempat mereda dengan terjalinnya kembali kerja sama militer pasca tragedi bom Bali pada tahun 2002. Ketegangan di antara dua negara ini kemudian memuncak pada tahun 2014, dengan munculnya isu penyadapan telepon oleh pemerintah Australia terhadap mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istrinya serta penyadapan terhadap beberapa menteri kabinet saat itu.

Kasus penyadapan itu berujung pada dibuatnya kesepakatan damai yang dibuat pada bulan Agustus 2014. Perjanjian ini dikenal dengan nama Perjanjian Keamanan-Kode Etik Intelijen Antarnegara. Dalam kesepakatan ini, terdapat beberapa poin yang menjadi pembahasan utamanya.

Pertama, baik Indonesia maupun Australia tidak diperbolehkan menggunakan sumber daya intelijen mereka untuk melakukan penyadapan dan mencari informasi yang akan merugikan salah satu pihak.

Kedua, dalam kesepakatan ini kedua negara akan menjalin kerja sama antar badan intelijen sesuai dengan hukum dan peraturan internasional masing-masing. Poin kedua ini dibuat karena Indonesia dan Australia sama-sama meyakini bahwa kerja sama intelijen yang kuat sangatlah diperlukan demi keamanan kedua negara ini.

Namun, apakah sebenarnya bentuk perjanjian ini? Apa saja hal yang menyebabkan dibentuknya perjanjian ini? Apakah benar pembentukan perjanjian ini efektif untuk menjaga kestabilan hubungan kedua negara yang selalu bersengketa ini?

Dibentuknya perjanjian yang diawali dengan adanya kasus penyadapan dan adanya keinginan untuk saling menjaga keamanan ini menunjukkan bahwa terdapat dua faktor yang memengaruhi hubungan internasional antarnegara, yaitu faktor internal dan eksternal.

Perjanjian kode etik intelijen ini terbentuk karena faktor internal, yaitu ketika Indonesia merasa perlu melindungi kedaulatannya dari intervensi negara lain yang mencoba mencuri informasi penting negara. Selain itu, terdapat juga faktor eksternal di mana Indonesia sadar bahwa sebuah negara tidak akan bisa bertahan berdiri sendiri tanpa bantuan dari negara lain. Karenanya, dibentuklah kerja sama intelijen dengan Australia untuk saling membantu dalam hal keamanan khususnya keamanan informasi.

Jika dilihat dari jumlah negara yang terlibat, perjanjian ini dikenal sebagai perjanjian bilateral, yaitu perjanjian yang hanya melibatkan dua negara, atau dalam kasus ini, hanya melibatkan Indonesia dan Australia.

Oleh karena itu, perjanjian ini bersifat khusus (treaty contract) karena hanya menimbulkan hak dan kewajiban hukum bagi kedua negara yang terlibat, tidak menyeluruh seperti Konvensi Wina tahun 1958 yang sifatnya membentuk hukum bagi banyak pihak.

Dilihat dari isinya, perjanjian ini berisikan poin-poin dari sudut pandang politis karena menyangkut masalah keamanan dan kedaulatan negara. Dalam diskusi tentang hubungan internasional, perjanjian ini juga disebut sebagai traktat,yaitu perjanjian internasional yang dibuat untuk mencapai hubungan hukum dengan kepentingan yang sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline