"Sejatinya, manusia itu diciptakan untuk bahagia."
Sebuah kutipan mencengangkan sekaligus melegakan dari seorang jenius, Al-Farabi.
Memang tidak bisa dipungkiri, sadar atau tidak sadar, selama hidup tujuan puncak manusia adalah mencapai kebahagiaan.
Jika dalam buku Filsafat Ethics, K. Berten, pernah menuliskan soal "Eudemonism", yang mana pandangan ini berasal dari Aristoteles, muridnya Plato.
Aristoteles menyebutkan bahwa setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, manusia ingin mencapai sesuatu yang baik, minimal untuk dirinya sendiri.
Dalam terminologi "Eudemonism", makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan. Cara mencapainya adalah ketika manusia menjalankan fungsinya dengan baik.
Jika manusia menjalankan fungsinya dengan baik sebagai manusia, ia juga mencapai tujuan terakhirnya, yaitu kebahagiaan.
Fungsi yang dijalankan dengan baik ini yaitu akal dan rasio.
Keutamaan dari pandanganAristoteles ini terutama terkait akal dan rasio adalah soal keberanian dan kemurahan hati. Maka, menurut Aristoteles, manusia akan bahagia jika mampu berbagi dan menaruh simpati serta empati kepada orang lain sebagai bentuk dari kemurahan hati.
Hal ini berbanding terbalik dengan terminologi "Hedonism". Pandangan yang dikemukakan oleh Aristippos, salah satu muridnya Socrates selain Plato.
Dia menyebutkan bahwa kebahagiaan itu disebutkan juga sebagai kesenangan. Dan kesenangan itu bersifat badani belaka. Karena hakikatnya tidak lain daripada gerak dalam badan.