Lihat ke Halaman Asli

Ch Idzan Falaqi Harmer

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada

Negara dalam Potret Ideal Sebuah Politik Hukum: Untuk Kedaulatan Rakyat

Diperbarui: 7 Februari 2023   20:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebuah teori populer sebagai pengantar yang tentu sangat dikenal pada seluruh kalangan diskursus bertajuk pruduk hukum dan interpretasinya. Yakni, Lawrence M Friedman dalam konteks idealnya menyebutkan bahwa "efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung kepada tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (structure of law), substansi hukum (substance of law), dan budaya hukum (culture of law). Mayoritas sepakat, bahwa teori ini dijadikan sebagai rujukan dan landasar pada penafsiran hukum, pembuatan produk hukum, dan pelaksanaanya sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Dalam muatan norma dasar atau yang disebut sebagai konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), yang dijadikan sebagai norma hukum tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan, pun acap kali menuai beragam penafsiran. Sehingga, tidak jarang amanat terhadap pelaksanaan norma-norma yang terdapat dalam materi konstitusi tersebut mendapati sorotan, yang kemudian dapat dilihat dengan timbulnya beragam diskursus diberbagai kalangan atau kelompok akademik, sosial dan masyarakat. Ironisnya lagi, pembentukan peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya sering bertabrakan dengan materi dan muatan konstitusi yang dilegitimasi sebagai norma hukum tertinggi tersebut. Hal ini dibuktikan dari timbulnya beragam pengujian peraturan perundang-undangan tersebut terhadap UUD 1945 pada lembaga Mahkamah Konstitusi (MK).

Bagaimana Konstitusi Hadir Sebagai Norma Dasar?

Semua sepakat, bahwa konstitusi yang memuat mengenai norma hukum dasar mengatur kepentingan mengenai hak-hak dasar, dan untuk melindungi segenap kepentingan bangsa dan seluruh warga negara, tentunya. Hal ini senada dengan teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen melalui stufenbau teori nya. Beliau mengungkapkan, bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang, dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang lebih tinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Tuturnya, mengenai grundnorm adalah "a statement from which all other duty statements ultimately get their validity from."

Dalam interpretasi dan pengayaan berikutnya, memiliki penafsiran bahwa tidak dapat suatu ketika pembentukan peraturan perundang-undangan yang berada dibawah UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi, malah menciderai nilai-nilai dan norma dasar yang menjadi patokan atau landasan pada sumber hukum tertinggi dari sebuah bangsa dan negara. Bukankah sudah jelas, kepentingan pembentukan peraturan perundang-undangan semata-mata dibuat hanya demi tujuan kemaslahatan dan untuk menjamin hak-hak dasar warga negara? Niat baik dan praduga yang baik, semoga pembentukan atau produk politik hukum selalu mencerminkan pelaksanaan terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dilakukan secara baik dengan mengejewantahkan nilai-nilai dan ketentuan yang berada didalamnya.

Cita-Cita Politik Hukum?

Sebagaimana sebuah produk diciptakan, tidak dapat dipisahkan dari amanat pembentukan dan tujuannya dibentuk. Selaras dengan tujuan hukum, yang secara umum memiliki tujuan demi terwujudnya "keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum". Ibarat seperti organ tubuh manusia, jika ditarik kedalam pengayaan sebuah filsafat ilmu. Barangkali hal tersebut adalah bagian yang tidak dapat dipisah satu dengan lainnya. Artinya, produk hukum yang baik adalah sebuah produk hukum yang menjamin asas-asas dan tujuan hukum secara utuh dan menyeluruh, sehingga tidak dibenarkan untuk melanggar esensi, nilai-nilai dan ketentuan dari tujuan hukum tersebut. Ketika salah satu tujuan dari hukum tersebut tidak terpenuhi, maka dapat dinilai produk hukum peraturan perundang-undangan tersebut sebagai produk yang cacat hukum.

Seperti ungkapan seorang filsuf berkebangsaan Perancis yakni Montesquieu, beliau mengungkapkan bahwa "tidak ada tirani yang dilakukan dibawah perlindungan hukum dan atas nama keadilan." Maka melalui penafsiran dalam ungkapan tersebut, kecenderungan kekuasaan tidak dibenarkan dan bahkan sewaktu-waktu dapat dikatakan zalim jika pelaksanaan terhadap kekuasaan tersebut berlindung dibawah payung hukum. Sehingga, tidak ada kebenaran yang dapat diterima dalam alasan yang menjadi narasi-narasi dan dalil pembenar untuk membantah keniscayaan serta melanggengkan kekuasaan yang cenderung tidak berpedoman dan berpihak kepada rakyat selaku pemilik kedaulatan tertinggi. Terlebih lagi, jika negara yang memiliki cita-cita demokrasi, tetapi dalam praktiknya yang terjadi malahan terkesan "mengangkangi" pondasi dari demokrasi itu sendiri. Ironis.

Bukankah Negara Hadir Untuk Menjamin Kedaulatan Rakyat?

Handal lagi piawai. Sebetulnya negara secara institusi sudah tidak diragukan lagi untuk mampu menyerap segala mazhab dan aliran hukum, maupun teori-teori hukum sebagai pedoman yang berkembang dari dulu hingga saat ini, lalu meng-interpretasikan hal-hal yang menjadi kecocokan terhadap nilai-nilai tersebut dan diadopsi kedalam nilai-nilai dan norma yang menjadi kesepahaman kolektif oleh masyarakat, serta menuangkannya kedalam bentuk penjalanan tugas sebagai penjamin hak-hak dasar suatu bangsa dan warga negara. Hadirnya institusi negara adalah sebagai pelaku pengejewantahan segala kepiawaiannya, selaku pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam bentuk prasangka baik, sangat tidak mungkin pelaksana terhadap nilai-nilai dan norma tersebut menunaikan kepentingan yang serta merta hanya untuk dirinya sendiri secara pribadi, dan melainkan bukan untuk tujuan kemaslahatan umum. Tetapi, dilain sisi barangkali narasi seperti itu hanyalah salah satu bentuk atau contoh seorang warga negara yang cenderung berpedoman pada tolak ukur perilaku naif.

Dalam harapan yang mulia, sudah seyogya-nya negara selaku penjamin dan sekaligus pelindung segenap kepentingan rakyat, sebagaimana yang dituangkan dalam tujuan negara pada poin dan pokok alinea ke-4 UUD 1945, yakni "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial." Melaksanakan tugas tersebut dan memiliki keyakinan kolektif bahwa negara hadir berkat adanya du contract social, maka hal ini sejatinya disadari yang secara kodrat seharusnya peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk manusia beradab untuk mewujudkan bangsa yang beradab, ialah secara esensial yang menempatkan kekuasaan ditangan rakyat. Dan tentu, segala kepentingan pembentukan perundang-undangan adalah semata-mata untuk kepentingan rakyat. Dengan mencerminkan tujuan hukum yang memiliki unsur keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Serta, dengan selalu meletakkan kemurnian pemilik kedaulatan ditangan rakyat itu sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline