Lihat ke Halaman Asli

Suci Gulangsari

Wiraswasta

Uforia Google+ .. Uforia Kaum Inlander????

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13107129221798575620

Cemburu, sekaligus prihatin. Itulah ungkapan jujur hati saya, saat melihat betapa teman-teman Kompasianer (termasuk admin yang memberikan keleluasaan selebar-lebarnya tentang artikel yang membahas tuntas tentang produk ini), menyambut dengan gegap gempita peluncuran jejaring sosial Google+. Bahkan dengan sukarela, disadari atau tidak, banyak kompasianer yang telah  menjadi agen promo produk besutan perusahaan raksasa asal Amerika itu. Bukan lantaran saat ini saya juga tengah mengembangkan produk jejaring sosial/social media serupa. Sama sekali bukan. Tapi sungguh .. kenyataan ini berbanding terbalik dengan nasib para penggagas produk jejaring sosial karya anak bangsa kita sendiri. Contohlah kejadian yang menimpa sejumlah siswa SMK asal Kota Malang yang mampu menciptakan produk jejaring sosial (yang menurut saya) tak kalah keren dengan facebook, beberapa waktu lalu. Para siswa pintar  itu mengaku down dan sempat tidak percaya diri lantaran karya mereka malah mendapat kecaman, bahkan hinaan ketika dishare di sebuah forum terkemuka di dunia maya. Meski bukan (mungkin belum) saya sendiri yang mengalami kejadian itu, namun terus terang naluri saya langsung tersentak. Bahkan, ketika membaca pengalaman pahit itu di sebuah media lokal, tanpa sadar hati saya langsung mengeluarkan 'pisuhan' khas Malang ..******!! Nasib anak-anak SMK itu tak jauh berbeda dengan beberapa rekan sepenanggungan saya. Rekan-rekan yang kebanyakan adalah IT programmer dan praktisi media online yang mencoba peruntungan dengan membuat sebuah karya jejaring sosial.Sehebat apapun karya itu, hanya dipandang sebelah mata. Jangankan untuk membahas tuntas tentang produk yang ada, mensupport, bahkan melirikpun tidak. Karena ketiadaan support, apalagi back up pendanaan untuk kelangsungan hidup web, tidak sedikit diantaranya yang akhirnya kolaps. Pasalnya, mengelola web dinamis seperti jejaring sosial atau media online yang selalu update, tentulah tidak sama dengan mengelola web statis. Dibutuhkan inovasi, fasilitas dan biaya maintenance yang tidak sedikit untuk menjaga kelangsungan hidup web jenis ini. Dan itu semua tidak bisa berjalan tanpa dukungan para pengguna jasa/user online yang, kebanyakan (ternyata) lebih 'terpukau' dengan produk barat !! Gengsi, jaga image .. atau karena mental "inlander" (jajahan) yang kadung melekat di diri dan pemikiran secara turun temurun?? Mengapa ada kecenderungan pemikiran di sebagian besar masyarakat kita_terutama kalangan menengah ke atas, bahwa semua yang bernilai 'western' itu adalah agung, hebat, dan harus dikedepankan ..??? Entahlah ... Yang jelas, saya berani bertaruh .. kalaupun Kompasiana (yang produk Indonesia) ini bukanlah bagian dari perusahaan besar sekaliber Kompas-yang oleh publik telah dinilai memiliki kadar gengsi dan standar tersendiri untuk sebuah karya tulisan, pasti perkembangannya pun tidak akan sepesat ini. Ini fakta yang tidak akan terbantahkan oleh para pelaku bisnis media!! Untungnya, sejauh ini nasib saya sedikit lebih beruntung. Karena meskipun tidak dibackup pemodal besar (sukur-sukur kalau ada ..ngarep.com) saya belum pernah menerima 'hinaan' serupa yang dialami teman-teman SMK itu. Kelangsungan hidup web yang saya kembangkan (alon-alon waton kelakon) mendapat sokongan dan suntikan dari member sendiri. Teamwork kami yang mayoritas adalah 'darah muda', sejak awal kami gembleng untuk memiliki otot kawat balung wesi ..juga percaya diri yang tinggi agar tak mudah 'down' ketika menghadapi segala bentuk sinisme dan suara-suara yag kurang mengenakkan hati. Dan saya oke-oke saja ketika memiliki akun dan kaki di hampir setiap jejaring sosial (dalam dan luar negri), termasuk di Google+ yang tanpa dipromosikanpun sebenarnya sudah membumi. Saya berbahagia karena memiliki pemikiran yang agak merdeka, tidak harus memikirkan gengsi, jaga image, jaga kelas ketika harus memasuki berbagai wilayah/komunitas dengan segala ragam dan cita rasanya. Nge-jazz,nge-blues,nge-rock, nge-dut .. ayukkk. Aku cinta Indonesia ...muachhh .. Ilustrasi:acclaimimages.com//google.image




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline