Lihat ke Halaman Asli

Nenek Tua Penjual Mimpi

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nenek tua itu selalu menggangguku dan seperti sangat ingin menjual mimpi kepadaku. Aku sering mendengarkan cerita tentang anak-anak suaminya yang kadang datang menjenguknya. Ya, anak-anak almarhum suaminya dari istri yang lain karena nenek tua tidak mampu memberi anak pada suaminya. Meski setahun ini tidak pernah sekali pun ku lihat anak-anak itu datang seperti yang nenek tua ceritakan. Ketika memandangi wajah keriputnya seolah bercerita banyak kepadaku tentang suatu masa ketika hari-harinya masih dipenuhi mimpi-mimpi. Aku sering mengira-ngira bagaimana garis-garis diwajahnya mewakili setiap mimpi yang telah dilaluinya dan membawanya pada masa dimana mimpi ternyata tidak memberinya apa-apa kecuali kesendirian dalam perangkap imajinasi yang tidak terkendali. Dan begitu pula yang mungkin aku dan kau nantinya terjatuh dalam kubangan yang tidak kita sadari. Mereka telah merencanakannya jauh sebelum kau lahir andai saja kau tahu itu. Bagaimana mereka bisa menangkap mimpimu dan menjualnya kembali kepadamu. Sesuatu yang seharusnya menjadi milikmu pun bisa dia nikmati sebelum mengembalikannya kepadamu. Tak jarang jika tak mampu dikembalikannya kemudian menjual mimpi lain kepadamu dan pura-pura menunjukkan jalan berbeda menuju mimpi berikutnya yang juga telah dia nikmati lebih dulu sebelum kembali kau menyadarinya. Mereka menciptakan ahli-ahli peramu mimpi dan membuat perangkap bagi siapa saja yang mereka sukai ke dalamnya. Menangkap setiap gerak dan menuntunmu pada mimpi-mimpi yang mereka buat. Mimpi tentang gedung-gedung pencakar langit, tentang taman bermain bak taman raja-raja dari negeri dongeng, tentang pusat perbelanjaan di mana peradaban dimulai dan semua mimpi tersedia. Kau harus membeli mimpimu sendiri di tengah sebuah kota yang dirancang untuk menguasai mimpi seluruh dunia. Aku ingin membawamu ke atas gedung tertinggi di negeri ini. Biar kau saksikan awan menggumpal di atas pabrik-pabrik dan kilau pantulan kaca dari gedung-gedung tinggi agar kau tahu itu bukanlah bintang. Di atas sana kau tidak akan melihat cela-cela tak berarti dari rumah-rumah sewaan yang kamar-kamarnya berpetak-petak dan diantaranya hanya beralaskan tanah. Kau akan menjadi sama seperti mereka si penjual mimpi. Yang menguras keringat orang-orang yang punya mimpi menggapai langit hanya untuk membangun gedung-gedung tinggi itu. Aku ingin membawamu ke setiap taman-taman kecil di kota ini. Biar kau saksikan orang-orang yang menggelar tikar di sepanjang koridornya bukan untuk piknik tapi untuk tidur melepas lelah sebelum ahli-ahli peramu mimpi mengusir mereka dari sana. Menurutmu mampukah mereka bermimpi tentang langit dan bintang sesungguhnya kecuali kilau cahaya dari gedung-gedung pencakar langit? Mereka juga punya mimpi sepertimu tapi telah direnggut paksa dan untuk memperolehnya kembali mereka harus menguras pundi-pundi yang tidak pernah cukup bahkan untuk memimpikan makanan. Datanglah di pusat peradaban, dan saksikan sendiri bagaimana mimpimu tergantung menyedihkan di antara merek-merek handphone, pakaian-pakaian nomor dua; karena pakean nomor satu hanya milik si pembuat mimpi. Hiburan yang tidak lebih hanya sekedar tontonan dan mereka menyisipkan mimpi-mimpi tanpa kau sadari. Entah bagaimana caranya kau mengisi mulutmu juga akibat mimpi-mimpi yang mereka tebarkan dalam gambar-gambar yang membuatmu ingin memucratkan air liur. Atau bagaimana kau berpikir sedang merajut mimpi dengan panduan murahan yang mereka pajang di toko-toko buku. Buku-buku yang berisi tentang apa yang harus kau lakukan untuk merajut mimpimu agar menggapai gedung-gedung tinggi, mengitari taman-taman terindah di seluruh dunia dan mampu membeli semua mimpimu yang tergantung tidak etis di etalase toko. Mereka bahkan mampu meramu mimpi dalam keyakinan tersuci yang kau miliki dengan wajah-wajah yang terbungkus amat religious. Memuakkan! Apa yang kau impikan dari dunia dimana mimpi pun diperjualbelikan? Biar ku bukakan semua rahasia ini agar kau tahu bagaimana mimpi berlalu dari hidupku. Mereka bekerjasama dalam persekongkolan yang rumit yang lahir sejak sebelum kau menghirup udara di dunia ini. Sebuah kontrak yang dipaksakan agar kita menjadi pemeran utama atas mimpi-mimpi yang telah mereka ciptakan. Jika kau masih ingin memiliki mimpimu sendiri hanya ini yang tersisa yang bisa kulakukan. Mengajakmu berpetualang di antara tebing-tebing curam imajinasiku dan tanpa senjata kecuali huruf demi huruf yang terangkai mengikutinya. Itu pun jika kau masih yakin mampu membuka langit tanpa batas di atas sana. Atau kau lebih senang memberikan peluang bagi mereka melihat celah diantara batu-batu cadas yang menghadang di depanmu sehingga mereka punya cara lain menguras mimpimu sekaligus imajinasimu. Sampai kau menjadi seperti nenek tua yang penuh imajinasi dan tidak punya pilihan lain selain berbicara pada barisan semut yang diburunya setiap hari dan memeluk kucing piaraannya sambil bermimpi itulah anak yang dicarinya selama ini. Ah, nenek tua … maafkan aku telah bermain-main dengan imajinasiku tentangmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline