Akhirnya kau menyadari bahwa aku memang pantas di biarkan tetap tinggal di taman ini, sendirian. Sudah ku ceritakan sebelumnya aku selalu mabuk laut jadi jangan mengajakku menaiki perahu itu jika kau tidak sanggup menarikku ke permukaan. Lihat kan bagaimana repotnya kau harus menyeretku kembali ke daratan dan kini harus kau tinggalkan di taman ini lagi. Taman yang sudah tidak karuan bentuknya setelah di tinggal berapa lama berlayar mengikuti arahmu. Aku harus membersihkan rumput-rumput liar yang menutupi hampir semua jalur-jalur di taman ini. Aku sudah lupa bunga apa yang pernah aku tanam ataukah memang tidak pernah ada bunga disini? Taman ini memang penuh onak dan duri, bagaimana bisa kau berpikir singgah melepas penat? Aku masih bertanya-tanya andai waktu itu aku tidak menemuimu dan bertukar cerita tentang rahasia taman ini, tapi kau membawa makanan asing dan juga bercerita tentang taman lain yang tidak pernah kulihat. Taman yang durinya lebih tajam dan meski tidak ada satu pun bunga di dalamnya semua terasa indah dan alami. Aku mendengarkan tuturmu sambil menikmati makanan yang kau bawakan-dan lebih sering lagi kau berikan sampai kau menemukan perahu itu. Aku mengikutimu dan terus merajuk agar kau mengajakku pergi melihat taman-taman lain seperti yang kau ceritakan. Aku tergila-gila biru dan menyukai langit biru tapi kaulah yang memberitahu langit itu tidak biru. Kau tunjukkan letak sudutnya dimana melihat langit berenda awan itu sangat indah. Semakin hitam semakin indah. Di atas perahu itu kau mengajakku menunggu langit biru perlahan menghitam dan menyaksikan purnama berjalan. Katamu seperti inilah purnama yang menyatukan hatimu dengan siapa pun di taman-taman yang pernah kau singgahi sebelum menemukan tamanku. Kataku purnama ini mirip dengan purnama yang sering ku intip di balik semak-semak berduri yang melukai kakiku. Bukan, purnama kali ini lain karena kita tidak sedang berada di dalam tamanmu dan aku tidak sedang bersama orang-orang yang ingin menambat hatiku dengan purnama ini, katamu. Tapi aku mabuk laut … obrolan kita tidak jelas arahnya. Aku terus bertanya dan menjawab dengan nada kekanak-kanakan yang tidak kau mengerti. Lalu kau sibuk mengais air laut yang mulai memenuhi perahu dan aku mulai menyanyikan lagu yang ku pikir kau sukai. Pikiranku mengembara mengikuti gerak perahu dengan penuh harapan kita akan menemukan daratan lain dengan taman-taman yang berbeda. Katamu kita akan sampai di suatu tempat diujung lautan ini kalo aku yakin bahwa tidak ada yang benar-benar sempurna bahkan purnama yang baru saja kita saksikan dan tentu saja jika aku tidak lagi terlalu sering menyanyikan lagu yang sama. Aku tidak tahu kapan persisnya badai itu datang dan susah payah kau menyeretku ke pinggiran. Seingatku kita sedang mengolok-olok badai yang mungkin menghempas kita kembali ke tepian. Atau mungkin suarakulah yang memanggil badai datang lebih cepat. Karena aku mabuk laut … Aku mencoba mengingat semua cerita ini sambil memandang langit. Melukisinya dengan sebentuk awan sekehendak hatiku. Di taman ini jiwaku bersemayam. Ini tamanku dan langit di atasku yang selalu ku pikir adalah satu-satunya milikku. Aku tahu langit yang menaungiku selalu bertudung awan hitam dan tidak jarang air hujan menembus dinding sukmaku. Kadang dia menjadi biru bersamaan datangnya mimpi menyapaku. Tapi kini aku tahu langit itu tidak selalu biru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H