Lihat ke Halaman Asli

Chessya Tivani Wijaya

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Lampung

Kontroversi Peraturan Gubernur Lampung: Panen Tebu Dengan Cara Dibakar?

Diperbarui: 4 Juni 2024   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: https://www.cnbcindonesia.com/news/20230512125327-4-436864/petani-tebu-semringah-diserang-cuaca-panas-penyebabnya-ini

Dalam praktiknya pembakaran lahan tebu ini sebenarnya kurang efektif untuk lingkungan. Pelepasan emisi gas rumah kaca, kerusakan dan pencemaran lingkungan serta asap dan partikel debu yang ditimbulkan oleh pembakaran ini akan tertiup angin dan mengenai pemukiman penduduk. Banyak hal merugikan yang ditimbulkan oleh kebijakan ini, seperti lingkungan, masyarakat bahkan negara. Dalam Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 memberikan instruksi bahwa pembakaran dilaksanakan maksimal 20 menit dan dibatasi 10 hektare, kemudian pada musim kemarau pembakaran hanya dapat dilakukan pagi hari, sedangkan pada musim hujan dapat dilakukan pagi dan malam hari. Regulasi ini bertentangan dengan hak rakyat, tertulis dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia. Ini menjadi perhatian pemerintah dan kita semua untuk melaksanakan undang-undang tersebut. Tapi dalam kenyataannya regulasi kebijakan Pergub ini dalam aturan pembakaran yang mempertimangkan cuaca dihapuskan, yang berarti klausul panen yang dilakukan dengan dibakar ini tidak lagi mempertimbangkan cuaca akibat cuaca yang tidak menentu bahkan baku mutu udara yang semula ada juga dihapus.

Dari klausul yang dihapus sudah terlihat bahwa kebijakan ini hanya menguntungkan sepihak, dan mengesampingkan hak rakyat. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), DR. Yusdianto Alam, mengatakan, Undang-Undang pengadilan hak asasi manusia (HAM) Pasal 9 menyebutkan kejahatan manusia adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil."Adanya pembakaran tebu, artinya perusahaan tersebut melanggar pedoman izin usaha perkebunan sebagaimana yang termuat dalam peraturan menteri pertanian No 98/Permentan/OT.140/9/2013,". Apabila suatu perusahaan melakukan panen tebu dengan pembakaran benar terjadi, Bukankah disetiap perusahaan menjalankan Corporate Social Responsibility (CSR)? Proses panen dengan dibakar seperti ini menimbulkan polusi udara, apalagi bagi perusahaan yang menghalalkan kebijakan memanen tebu dengan cara dibakar. Polusi udara dapat memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Sudah seharusnya pelaku usaha memiliki misi untuk menciptakan keberadaan perusahaan yang lebih ramah lingkungan dan ramah masyarakat sekitar. Berangkat dari kebijakan ini Mahkamah Agung (MA) mengabulkan uji materi yang diajukan Pengawas Lingkungan Hidup KLHK atas Peraturan Guernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu sebagaimana diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023 yang memfasilitasi atau mengizinkan panen tebu dengan cara dibakar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline