Lihat ke Halaman Asli

Cheryl Velia

Siswi SMPK Maria Fatima Jember

Pasal 76C UU Perlindungan Anak Untuk Memberi Perlindungan Pada Siswa Atau Sebagai Senjata Kriminalisasi Terhadap Pendidik?

Diperbarui: 30 November 2024   12:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Cheryl Velia

Maraknya pelaporan terhadap guru kepada pihak berwajib di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa dunia pendidikan di negara kita tidak sedang baik-baik saja. Kira-kira berita apa saja yang paling sering muncul di televisi, koran, dan media sosial lainnya mengenai dugaan pelanggaran pasal 76C UU Perlindungan Anak di sekolah-sekolah saat ini? Artikel ini hanya akan membahas beberapa contoh kasus saja. Salah satunya tentang kasus dugaan kekerasan yang melibatkan seorang guru olahraga di SD Negeri 1 Wonosobo, Jawa Tengah dengan seorang muridnya dan ada dugaan permintaan uang damai dari orang tua siswa hingga puluhan juta rupiah terhadap guru tersebut. Kasus ini pernah viral dan menimbulkan berbagai kontroversi. Tidak cukup sampai disana, ada juga kasus seorang guru agama di salah satu SD di Desa Lakarama, Kecamatan Towea, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Guru berinisial A ini ditetapkan sebagai tersangka karena diduga memukul muridnya dengan sapu lidi. Dan kasus yang sampai saat ini masih hangat dibicarakan adalah guru honorer di SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan. Kasus ini memicu pro dan kontra dalam Masyarakat. Bagaimana tidak membuat heboh Masyarakat, dalam kasus ini ada dugaan pelanggaran kode etik, isu permintaan uang damai dari pihak orang tua murid yang merupakan seorang oknum polisi sampai guru honorer tersebut ditahan oleh Kejaksaan Negeri Konowe Selatan dan ditempatkan di Lapas Perempuan Kendari.

Mungkin dari sudut pandang orang tua, pandangan mana yang termasuk tindak kekerasan di lingkungan sekolah berbeda dengan sudut pandang pihak sekolah yang bersangkutan. Hal-hal seperti inilah yang menjadi salah satu dasar pelaporan orang tua terhadap guru ataupun terhadap sekolah tertentu. Misalnya seorang siswa tampak seperti sedang mengobrol dengan temannya pada saat guru menerangkan pelajaran, guru tersebut langsung melempar penghapus kepada siswa yang dianggapnya tidak memperhatikan penjelasan guru. Saat tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya, siswa tersebut menganggap dirinya tengah mengalami kekerasan oleh guru karena ia merasa terintimidasi. Siswa mempunyai hak untuk menyampaikan kebenarannya, mungkin pada saat itu ia dimintai tolong oleh temannya atau ada alasan lain. Penerapan sikap seperti melempar benda, mencubit, menampar, dan lain-lain merupakan tindakan yang melanggar pasal 76C UU Perlindungan Anak. Sebelum laporan terjadi, seharusnya ada komunikasi yang intens antara guru dan orang tua siswa.

Pasal 76C UU tentang Perlindungan Anak memang bertujuan untuk memberi perlindungan pada anak-anak dalam hal ini kita sedang membahas secara khusus tentang anak-anak di sekolah. Namun alangkah baiknya jika pasal ini dipakai sebagaimana mestinya tanpa harus merugikan pihak guru maupun siswa yang bersangkutan. Pasal ini bukan hanya sekedar untuk melindungi hak anak dari tindakan kekerasan tetapi perlu juga diperhatikan agar tidak dijadikan sebagai alat atau senjata untuk mengkriminalisasi pendidik. Fenomena pelaporan terhadap guru kepada pihak berwajib akan menimbulkan "self defense" atau pertahanan diri yang merupakan tindakan seseorang untuk melindungi dirinya dari situasi yang membuat perasaan atau pikiran tidak nyaman dengan cara menghindari terjadinya konflik. Contohnya saat guru melihat siswa melanggar aturan di sekolah, karena timbul rasa takut akan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi maka guru lebih memilih membiarkan murid melakukan pelanggaran. Hal ini dilakukan karena kekhawatiran guru jika dilaporkan kepada pihak berwajib. Dengan berdasar pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 46 Tahun 2023, seharusnya penanganan kekerasan di sekolah harus sesuai prosedur yang berlaku. Artinya jika terjadi permasalahan di sekolah yang melibatkan guru dan siswa, penyelesaiannya bukan dengan cara memaksakan kehendak orang tua atau sekolah harus tunduk kepada tuntutan orang tua. Orang tua perlu memberi kepercayaan bahwa sekolah memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, tetapi pastinya harus sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Keterlibatan orang tua dalam ikut mendidik anak di lingkungan sekolah memang sangat penting tetapi bukan berarti orang tua berhak mengintervensi penyelesaian masalah secara berlebihan. Ini akan membuat otoritas guru di sekolah makin melemah dan akhirnya tergerus. Dampaknya akan bermunculan oknum-oknum siswa yang kurang menghormati orang di lingkungan sekolah termasuk kepada guru, baik itu berupa melanggar norma-norma yang ada di sekolah, tidak disiplin, dan bahkan untuk kedepannya bisa membentuk siswa dengan mental yang rapuh. Guru pun seharusnya menyikapi dengan bijak bahwa cara pengajaran untuk siswa saat ini berbeda dengan zaman dulu. Zaman dulu walaupun guru memukul siswa dengan penggaris besar pun atau melakukan tindakan "kekerasan" lainnya, jarang terjadi pelaporan terhadap pihak berwajib oleh orang tua murid. Harus dipikirkan bagaimana cara mengajar, mendidik, dan menegur siswa yang efektif tanpa harus melanggar hak-hak siswa maupun menciptakan situasi yang membuat siswa tertekan secara psikis.

Banyak orang tua yang tidak mendapatkan informasi yang lengkap dan utuh tentang proses belajar mengajar anaknya di sekolah, sehingga ketika terjadi konflik orang tua cenderung mempercayai laporan dari anak-anaknya yang mungkin tidak sepenuhnya objektif. Dalam hal ini penyelesaian masalah seharusnya sekolah bersikap tegas, adil, dan transparan dalam menyelesaikan permasalahan sehingga orang tua tahu kejadian yang sebenarnya untuk menghindari terjadinya pelaporan kepada pihak berwajib. Pasal 76C UU Perlindungan Anak seharusnya dibentuk dengan tujuan agar anak-anak bisa bersekolah dengan nyaman tanpa ada rasa takut terjadi diskriminasi dan terjadinya kekerasan serta bertujuan agar hak-hak anak terlindungi di lingkungan sekolah. Semua ini dapat tercapai jika semua pihak baik guru, orang tua, dan siswa bekerja sama dan saling menghargai serta saling mendukung sesuai dengan kewajibannya masing-masing. Dengan demikian maka salah satu tujuan nasional Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud. Guru pun merasa dihargai dan akan lebih termotivasi lagi untuk memberikan pendidikan yang berkualitas bagi murid-muridnya demi masa depan yang lebih cerah.

_______________

Referensi :

Jay Wijayanto, Lerai Murid Berkelahi, Guru SD di Wonosobo Dilaporkan ke Polisi, Juga Diminta Uang Damai Rp30 Juta namun Berujung Damai, 30 Oktober 2024, https://radarsurabaya.jawapos.com/nasional/775254899/lerai-murid-berkelahi-guru-sd-di-wonosobo-dilaporkan-ke-polisi-juga-diminta-uang-damai-rp30-juta-namun-berujung-damai, diakses 27 November 2024.

Rachmawati (Editor), Kronologi Guru di Muna Jadi Tersangka, Dilaporkan Walimurid karena Pukul Siswa Pakai Sapu Lidi, 25 Oktober 2024, https://regional.kompas.com/read/2024/10/25/195000978/kronologi-guru-di-muna-jadi-tersangka-dilaporkan-walimurid-karena-pukul, diakses 27 November 2024.

Rizka Muallifa, Kronologi Kasus Guru Supriyani, Dituduh Aniaya Anak Polisi hingga Mobil yang Ditumpanginya Ditembak Orang Tak Dikenal, 31 Oktober 2024, https://www.liputan6.com/hot/read/5766819/kronologi-kasus-guru-supriyani-dituduh-aniaya-anak-polisi-hingga-mobil-yang-ditumpanginya-ditembak-orang-tak-dikenal, diakses 27 November 2024.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline