Lihat ke Halaman Asli

Yang Penting Kaya dan Banyak Duit??

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya dan mungkin banyak orang sering dengar kalau mental bangsa ini sudah “bobrok”. Di luar apa barometer yang dipakai untuk menyebut mental sebuah Negara itu bobrok atau tidak, saya akhir akhir ini seringkali entah menjumpai atau dijumpai “fakta lapangan” yang membuat saya miris. Apakah ini bagian dari “kebobrokan mental” tersebut? Yang jelas, yang akan saya tuliskan adalah hal kecil di sekitar saya yang membuat saya tersenyum miris ataupun mengusap dada.

Suatu hari saya bertugas menjemput tamu dari Kementerian Landskap Malaysia. Sambil membawa kertas bertuliskan nama tamu dan rombongan tersebut, saya berdiri di dekat pos satpam. Lalu terjadilah percakapan antara kami yang kurang lebih seperti ini;

Saya: “Pak, kalau kedatangan keluarnya di sini kan? Bisa nunggu di sini?”

Satpam: “iya, tunggu di sini aja mbak. Emangnya nunggu tamu dari mana?”

Sa : “dari Malaysia, orang kementerian sana.”

Sat: “Emangnya mbak na kerja di apaan?”

Sa: “Oh.. ini saya diminta tolong teman saya yang kerja di Kedubes Malaysia”.

Sat: “Oh.. ada kerjaan ga mba di sana?”

Sa: “wah.. ga tau saya, saya kan ngga kerja di sana, ini saya bantu di EO dan Travel na aja. Emangnya kamu mau keluar? Udah berapa lama kerja jadi satpam?”

Sat: “Baru saya mbak, baru berapa bulan sambil nunggu panggilan Akpol, saya baru lulus mbak taun kemaren.”

Sa: “Oh… terus ngapain aja sebelum kerja di sini? Ngga niat nerusin?”

Sat: “ya itu mba, nunggu panggilan akpol. Kalau kuliah gitu emang mahal ngga sih mbak?”

Sa : “ya, ada yang mahal, ada yang nggak. Tapi kalau kita mau usaha, selalu ada jalan. Apalagi sekarang banyak beasiswa, kalau kita pintar walaupun kurang mampu, bisa dapat beasiswa, jadi bayarnya murah, bahkan gratis.”

Sat : “Oh gitu ya mbak, kalau STAN itu bagus ngga mbak? Mahal ngga kuliah di situ?”

Sa : “Yah, kalau STAN setau saya sih bagus, kan punya pemerintah yah, kuliahnya gratis, terus kalau sudah lulus, langsung kerja. Jadi, banyak saingannya kalau mau masuk sana, harus sungguh-sungguh”.

Sat: “Oh gitu yah mba, orang sini ya mba, orang bea cukai nya, pada dari STAN, masih muda, tapi udah pada punya rumah, mobil. Enak tuh mba, punya mobil.”

Sa : “Lah kamu mau kuliah, niatnya mau cari ilmu apa mau punya mobil.”

Sat : “hehehehe (nyengir)”. Ya, pokoknya yang cepet dapet duit banyak lah mbak”.

Sa: *tepot jidat dalam hati lalu tersenyum miris…

Mungkin entah saya yang terlalu sensitif atau gimana, tapi rasanya apa bangsa ini sekarang kebanyakan bermental yang penting dapet duit banyak ketimbang bagaimana bisa berprestasi di bidangnya masing masing apapun itu, ketimbang bagaimana dapat memberikan manfaat bagi orang lain sekecil apa pun itu.

Lalu saya jadi mengingat sebuah kelas sore saya di Rumah Mengaji yang ibu saya bina. Kebetulan memang, yang datang mengaji dan belajar di kelas sore itu adalah anak anak dari golongan bawah, tanpa maksud merendahkan. Waktu itu saya mau berbagi tentang cita cita dengan mereka. Saya meminta mereka menuliskan cita cita mereka sebesar besarnya dan alasan kenapa mereka ingin jadi ini atau ingin jadi itu. Setelahnya, saya meminta mereka membacakan cita cita mereka. Tujuannya sederhana, agar mereka mau bercita cita dan melatih kemampuan menulis dan berbicara di depan umum. Dan setelah tulisan selesai dan dibacakan, saya senang mereka mau bercita-cita. Namun, alasan alasan kenapa mereka bercita-cita begini begitu yang membuat saya harus “meluruskan” beberapa hal.

Saya ingat ketika satu anak perempuan bernama Cindy, bercita cita menjadi artis karena ingin terkenal bisa masuk tipi. Yang saya lakukan, mengajak semua anak bertepuk tangan lalu mengajaknya berpikir bagaimana kalau jadi artis yang di tivi ga buka bukaan baju, ga teriak marah marah, tapi jadi artis yang main film yang ngajak orang buat belajar, buat sholat, dsb. Lalu ada lagi yang ingin jadi dokter, karena dokter keren dan pasti banyak duitnya, hadeeehh… emang bener sih, tapi saya berharap cita cita mereka tidaklah bertujuan untuk dunia saja, harus ada nilai yang melebihi itu semuanya. Lalu dengan mencari bahasa yang tepat, saya mencoba mengajak mereka berpikir ulang untuk “memperbaiki” alasan cita citanya agar ada prestasi yang mereka bisa raih dan agar ada nilai berbagi di dalamnya. Entah berhasil atau tidak, saya tidak tahu tapi saya tetap berharap.

Semua ini membuat saya berpikir, apa memang bangsa ini terjangkit dengan waham materialisme begitu kuatnya?? Bukannya saya anti dunia atau tidak suka uang, suka banget malah, hehehe... tapi…. Yah begitulah. Pun hingga saat ini saya pun masih banyak belajar dan berusaha menanamkan mental mau kerja keras pada diri saya dalam bidang dan kapasitas saya agar ada manfaat yang bisa saya bagi walaupun sederhana. Saya pun selalu salut dan menaruh apresiasi yang tinggi pada orang orang di luar sana yang banyak berbuat untuk orang sekitar, berbagi semangat untuk berprestasi tinggi, untuk diri mereka, keluarga, sekitar, hingga bangsa dan Negara. Semoga masih ada harapan untuk Indonesia Maju tidak hanya di sisi kualitas intelektualitas atau ekonomi, tapi dapat menghapus stigma “bangsa yang mentalnya rusak / bobrok/ apalah itu”.

*sedihnya gw dibilang bermental bobrok, nangis di pojokan, hehehe*




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline