Rene Descartes adalah seorang filsuf yang berupaya membuat filsafat menjadi lebih logis dan pasti. Salah satu pendekatannya adalah dengan meragukan segala sesuatu atau menerapkan metode keragu-raguan. Artinya, ia mencoba untuk mempertanyakan semua pengetahuannya. Descartes meyakini bahwa akal pikiran sangat penting. Ia menyatakan, "Aku berpikir, maka aku ada" (cogito ergo sum). Ini berarti bahwa dengan berpikir, kita dapat meyakini keberadaan kita.
Baginya, akal pikiran adalah sesuatu yang tidak terkait dengan benda fisik atau materi, melainkan sesuatu yang tidak bisa diamati atau disentuh. Descartes juga memisahkan antara akal dan tubuh. Baginya, akal adalah kesadaran yang terfokus pada berpikir, sementara tubuh adalah bagian dari materi alamiah yang dapat diamati dan diraba. Oleh karena itu, Descartes menekankan pentingnya berpikir kritis dan meragukan segala sesuatu sebagai metode untuk mencapai pengetahuan yang lebih pasti dalam filsafat.(Choiriyah, 2018, p. 237)
Rene Descartes, yang dijuluki sebagai "Bapak Filsafat Modern," adalah individu yang memulai aliran pemikiran filsafat rasionalisme yang kemudian diperluas oleh Spinoza dan Leibniz. Ia lahir pada tahun 1596 di Prancis, di mana ayahnya adalah seorang anggota parlemen Prancis dan ibunya meninggal ketika Descartes masih bayi. Setelah itu, ayahnya menikah lagi, dan Descartes kemudian diasuh oleh neneknya. Sejak saat itu, ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk bertemu dengan ayahnya lagi.(Choiriyah, 2018, pp. 237–238)
Rene Descartes, yang diberi nama baptis Rene saat masih muda, menunjukkan bakat dalam bidang filsafat sejak kecil. Ayahnya bahkan menyebutnya "Si Filsuf Cilik" karena kecerdasan dan minatnya dalam filsafat. Pada awalnya, ia menerima pendidikan di sekolah Yesuit di La Fleche antara tahun 1604 hingga 1612. Di sekolah tersebut, ia memperoleh dasar pemahaman tentang ilmu pengetahuan dalam bahasa Latin dan Yunani, bahasa Prancis, seni musik dan panggung, logika Aristoteles, Etika Nichomacus, ilmu fisika, matematika, astronomi, serta ajaran metafisika yang berasal dari filsafat Thomas Aquinas..(Arsi et al., n.d., p. 3)
Guru-guru Descartes sangat mengagumi kecerdasannya. Tetapi pada tahun 1615, ia memutuskan untuk pergi dari La Fleche dan menolak ajaran yang diberikan oleh para pengajar di sekolah tersebut. Descartes kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Poitiers, di mana ia berhasil memperoleh gelar bakalaureat dan lisensi dalam ilmu hukum pada tahun 1616. Setelah mencapai pencapaian ini, ia memilih untuk meninggalkan lingkungan ilmiah. Dengan pengunduran dirinya, Descartes bermaksud untuk melepaskan diri dari pengaruh guru-gurunya dan pengetahuan yang telah diperolehnya melalui buku-buku.
Dia bersumpah untuk "mengejar pengetahuan yang hanya bisa ditemukan di dalam dirinya sendiri atau melalui pengalaman langsung dengan dunia yang luas." Dengan kata lain, Descartes tidak lagi mempercayai pengetahuan yang diterimanya melalui buku atau guru-gurunya di sekolah. Karena itulah, satu-satunya alternatif yang tersisa adalah mencari pengetahuan melalui pengalaman pribadi atau observasi langsung dunia nyata.(Sitorus, 2016, pp. 2–3)
Descartes memilih untuk hidup terpisah di Faubourg Saint-Germain agar dapat lebih fokus dalam studi ilmu ukur. Walaupun ia tidak pernah menikah, ia memiliki seorang anak dengan seorang pembantu. Namun, anak tersebut mengalami kematian yang sangat tragis, yang sangat mengguncang Descartes dan menyebabkan perasaan sedih yang mendalam dalam dirinya.(Choiriyah, 2018, p. 238)
Descartes mengembangkan ide-ide penting untuk perkembangan pemikirannya dan mencatatnya selama perjalanannya atau dalam berbagai pertemuan dengan orang-orang yang ditemuinya. Ia memulai usahanya untuk belajar dari pengalaman hidup ini dengan menjadi anggota militer di bawah pimpinan Maurice Nassau di Belanda pada tahun 1618, bahkan tanpa menerima bayaran. Yang menarik, meskipun ia menjadi seorang tentara, Descartes tetap fokus pada penelitian matematika. Di Belanda, ia berjumpa dengan seorang individu yang memiliki minat dalam matematika, yang bernama Isaac Beeckman, yang memperkenalkannya pada perkembangan terbaru dalam ilmu pengetahuan.(Sitorus, 2016, p. 3)
Melalui dialog dengan Beeckman, Descartes mendapatkan dorongan untuk menggabungkan matematika dengan ilmu fisika. Pada tahun 1619, ia menjadi bagian dari pasukan Bavaria di Belanda dan menghabiskan musim dingin antara 1619-1620 di kota tersebut. Pengalaman ini kemudian ia dokumentasikan dalam karyanya yang pertama, yang dikenal sebagai "Descours de la Methode" atau "Pemaparan tentang Metode" (1637). Dalam bukunya ini, Descartes merincikan perkembangan pemikirannya. Dia menyatakan bahwa dia merasa tidak puas dengan filsafat dan ilmu pengetahuan yang telah dia pelajari.. Menurutnya, dalam ilmu pengetahuan, tidak ada yang bisa dipastikan sebagai kebenaran yang mutlak karena semua konsep bisa dipertanyakan dan sering kali memang dipertanyakan.(Choiriyah, 2018, p. 238)
Di Belanda, Descartes menulis banyak karya filsafat dan berdiskusi dengan beberapa pakar melalui korespondensi. Ia menulis karyanya dalam bahasa Latin dan Prancis. Beberapa dari karyanya tidak disebarkan dengan sengaja, mungkin karena pertimbangan keamanan atau alasan lainnya. Sebuah karya tulisnya yang dikenal dengan judul "Dunia" (Le Monde) membahas perspektifnya tentang fisika mekanik dan fisiologi berdasarkan model heliosentris Copernicus. Namun, tulisan ini tidak pernah diterbitkan setelah Descartes mengetahui bahwa gereja telah menghukum Galileo Galilei.(Sitorus, 2016, p. 4)
Akhirnya, Descartes memilih untuk tinggal di Belanda, di mana ia menjalani dua puluh tahun dalam lingkungan yang mendukung kebebasan berpikir. Setelah menerima undangan dari Ratu Kristina, ia pindah dan menjalani sisa hidupnya di Swedia. Di sana, ia mendapat pengajaran dari Ratu Kristina setiap pagi jam lima, tetapi sayangnya, ia jatuh sakit parah dan meninggal pada tahun 1650 sebelum sempat menikah..(Choiriyah, 2018, p. 238)