Lihat ke Halaman Asli

Media Sosial di Dalam Ruang Kelas

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hari ini saya membaca sebuah artikel di CheckFacebook.com tentang seorang pendidik di Amerika Serikat, seorang kepala sekolah di New Milford (N. J.) High School, yang menggunakan jejaring social facebook sebagai alat untuk memperkaya proses belajar mengajar di sekolahnya. Eric Sheninger, nama sang Kepala Sekolah ini, kini memiliki hampir 12.300 follower di twitternya. Ia dan guru-guru di New Milford High School menggunakan facebook untuk berkomunikasi dengan para siswa dan orang tua siswa. Sedangkan siswa-siswa sekolah tersebut menggunakan facebook sebagai kalender untuk merencanakan dan mengorganisir event kelas atau sekolah.

Di dalam kelas, para guru secara rutin meminta anak-anak didiknya untuk menyalakan ponsel mereka dan merespon polling dan kuis di kelas. Bukannya melarang ponsel di sekolah, Sheninger malahan menyebutnya “alat belajar bergerak – mobile learning devices”.

Ia juga telah merombak tampilan situs sekolah yang statis dan membosankan dengan tampilan yang penuh dengan halaman dan tautan facebook. Para guru pun menganjurkan siswa-siswa mereka untuk melakukan riset, menulis, mengedit, dan mempublikasikan tugas-tugas mereka secara online.

Sheninger adalah satu dari sejumlah pendidik di Amerika Serikat yang tidak saja hanya mentolerir penggunaan jejaring social di sekolah – ia bahkan menganjurkannya, seringkali untuk kepentingan pendidikan. Menurutnya, situs-situs seperti facebook, twitter, dan YouTube – yang banyak menuai kontra dan penolakan dari pendidik konservatif – pada kenyataannya mampu mendorong siswa untuk mengerjakan tugas mereka lebih baik, memberikan perhatian yang lebih besar pada isu-isu seperti melakukan riset yang berkualitas dan hukum-hukup hak atas kekayaan intelektual atau hak cipta.

Menurut saya, hal-hal seperti ini sangat bisa diterapkan juga di Indonesia. Semakin murahnya harga ponsel yang bisa digunakan untuk browsing, semakin berkembangnya kesadaran akan teknologi informasi di kalangan pendidik serta anak didik, dan semakin murahnya harga konektivitas ke internet, akan sangat mendukung penerapan jejaring social untuk mendukung pendidikan. Tidak perlu pihak sekolah susah payah menyediakan sistem informasi yang rumit, berinvestasi jutaan rupiah, atau mengupah tenaga IT untuk memelihara system informasi canggih yang bertujuan untuk mendekatkan komunikasi antara pendidik, anak didik, dan orang tua. Di jejaring social seperti facebook atau google+, hal-hal dasar untuk komunikasi sudah tersedia, dan pada dasarnya komunikasi di jejaring sosial sudah berjalan sendiri secara alami.

Ketimbang membatasi penggunaan ponsel di sekolah, lebih baik ponsel tersebut didayagunakan untuk membantu proses belajar mengajar dan membuat prosesnya menjadi lebih menarik dan menggairahkan bagi anak didik. Daripada membatasi akses jejaring sosial bagi almamater sekolah karena khawatir akan efek negatifnya, lebih baik memanfaatkan fitur internet yang fenomenal ini untuk mendukung proses bagi terciptanya manusia yang lebih bertanggung jawab.

Jejaring sosial sudah menjadi fenomena. Tidak ada seorang pun yang dapat menahan laju trend ini. Berbagai efek negatif dari fitur situs jejaring sosial juga sudah muncul ke permukaan. Namun, membatasi akses ke situs jejaring sosial seperti facebook, menurut saya bukanlah solusi yang efektif untuk menghindarkan efek negatif itu dari anak-anak muda kita. Justru dengan menghindari atau mencoba menghindarkan facebook dari mereka, kita malahan membiarkan anak-anak muda kita menciptakan dan mendefinisikan kebudayaan mereka sendiri di dalam dunia tersebut tanpa bimbingan dari orang dewasa. Dan hal itu sangatlah tidak bertanggungjawab. Demikian menurut Matt Levinson dalam bukunya, From Fear to Facebook.

Saya bukanlah pendukung penuh facebook atau situs jejaring sosial tertentu. Saya hanya mengusulkan (dan akan mendukung penuh setiap usaha) untuk memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang sudah ada demi untuk ikut bertanggungjawab mengarahkan anak-anak muda net generation negeri ini menjadi orang-orang yang berkualitas dan bertanggung jawab di dalam dunia masa depan, di mana mereka tidak hanya hidup dalam dunia nyata, tapi juga dunia virtual yang nyata. Banyak hal akan lebih dipermudah, tapi ada hal-hal tertentu akan menjadi lebih kompleks.

Bagaimana pendapat Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline