Pertanyaan itu timbul, karena Baleg DPR mengadakan Rapat Kerja kilat tanggal 21 Agustus 2024 untuk merevisi UU Pilkada yang tidak sesuai dengan Putusan MK tanggal 20 Agustus 2024. Rapat Baleg itu secara kilat membuat draft revisi yang isinya dinilai bertentangan dengan putusan MK.
Rapat Kerja Baleg DPR RI dengan Pemerintah tersebut, dihadiri oleh 28 orang anggota, dari 80 orang anggota Baleg dari 9 fraksi. Dari sembilan fraksi hanya satu fraksi yang menolak yakni Fraksi PDI-P
Biasanya selama ini fraksi yang sendiri berbeda atau oposisi adalah fraksi PKS. Sekarang Partai PKS sudah "tobat" beroposisi, dan masuk dalam jaringan raksasa KIM-Plus, yakni gabungan parta-partai "binaan"Pak Lurah. Rupanya PKS tidak tahan juga sepuluh tahun "menderita" dan saatnya menikmati "kebahagiaan" hidup di dunia sebelum meninggalkan dunia yang fana.
Siapa saja yang berperan sebagai "pembegal konstitusi" di senayan, kita hanya bisa menduga diantara 28 orang yang bersuara menyatakan "melawan" k
Putusan MK Nomor 60 /PUU-XXII/2014 dan Putusan MK Nomor 70/2024 tanggal 20 Agustus 2024. Tetapi yang pasti mereka yang menyetujui draft revisi UU Pilkada melawan putusan MK, merupakan "pembegal " kelas teri yang dikendalikan oleh "pembegal" kakap para kepala kodi KIM-Plus "berselingkuh" dengan Penyelenggara Negara.
Kenapa masyarakat menyebutnya "pembegal konstitusi" karena hanya mereka yang berani dan siap pasang badan melawan Konstitusi. Betapa tidak, keputusan MK adalah FINAL AND BINDING artinya putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Akibat hukumnya secara umum, tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut.
Masih ingat putusan MK Nomor 90 Tahun 2024, sang Paman Usman ( ketua MK) meloloskan calon Wakil Presiden yang tidak cukup umur. Ternyata Ketua MK yang memutuskan perkara ada conflicf of interest(CoI), oleh MKMK diberhentikan sebagai Ketua MK dan tidak boleh ikut menyidangkan perkara Pilkada. Walaupun masyarakat mengatakan Wakil Presiden yang dihasilkan adalah "anak haram Konstitusi" tetapi karena keputusan MK final dan mengikat, masyarakat patuh.
"Pembegal" senayan itu akhirnya "tiarap" masuk kolong tempat tidur takut dicari warga. Warga mengamuk dan melakukan aksi demo melawan "pembegal" senayan. Pagar Gedung DPR-RI jebol. Demonstran berhadapan dengan Polisi. 300 lebih demonstran ditangkap Polisi. Itulah hasil kerja "pembegal". Rakyat berhadapan dengan Polisi yang menggunakan peralatan perusak dan pemukul kepada para demonstran. Ironi nya sumber uang untuk membeli senjata yang digunakan Polisi dari uang rakyat melalui pajak yang dikutip negara.
Pembegal yang berkelas
"Pembegal konstitusi" di Indonesia memang berkelas. Umumnya dibagi atas 2 kelas yaitu pertama; Pembegal kelas pemikir dan berotak "kotor", dan kelas kedua; Pembegal kelas di lapangan, sebagai eksekutor yang tidak perlu lagi menggunakan pikirannya, dan otaknya "busuk".
Siapa saja "pembegal konstitusi" kelas pertama dimaksud. Dalam kasus pembangkangan konstitusi dengan melawan keputusan MK 60 dan 70 melalui rapat kerja Baleg DPR RI 21 Agustus 2024 sangatlah jelas. Mereka Ketua- Ketua Partai Politik tertentu, yang mengendalikan dan memerintahkan anggotanya (anggota DPR) di Baleg untuk merevisi UU Pilkada yang menentang keputusan MK 60 dan 70. "Pembegal konstitusi" kelas pertama itu bekerja bukan tanpa sebab. Mereka bekerja atas "perintah" Raja mereka yang yang istilah Ketua Umum Golkar Bung Bahlil menyebut Raja Jawa.