Lihat ke Halaman Asli

Chazali H Situmorang

TERVERIFIKASI

Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Pemimpin "Terbalik"

Diperbarui: 26 Oktober 2023   21:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Selama  8 tahun belakangan ini, kita sering menemukan pemimpin "terbalik". Bukan mobilnya terbalik masuk got. Tetapi bicaranya sering terbalik-balik. Terbalik disini dimaksudkan adalah sisi yang sebelah belakang dari yang kita lihat, atau juga dalam keadaan atau berkedudukan berlawanan dari yang biasa (yang di bawah menjadi di atas, yang di belakang menjadi di depan, yang di dalam menjadi di luar, dan sebagainya) ( lihat KBBI).

Pemimpin terbalik dimaksud, kita harus mampu membaca apa dibalik yang diomongkan atau yang dijanjikan. Sering bertolak belakang. Kita tidak tahu persis kapan sedang terbalik dan kapan tidak terbalik.

Misalnya "tidak mengimpor  beras" nyatanya berjuta ton import beras. Proyek Strategis Nasional tidak harus menggusur, nyatanya digusur, digeser atau dipindahkan dari kampung halaman yang ratusan tahun ditinggali turun temurun. Katanya tidak cawe-cawe urusan pencalonan Capres dan Wacapres, nyatanya membangun dinasti dengan menempatkan anak, menantu dalam jabatan penyelenggara negara, pada masa periode yang sama. Katanya bertekad memperkuat KPK dan memberantas korupsi, ternyata sebagai pendekar hukum dan menteri yang mengkoordinasi persoalan hukum turut melemahkan KPK dengan UU KPK yang baru. Menggebu-gebu bongkar potensi korupsi Rp. 345 Triliun di Kemenkeu, sampai sekarang tidak jelas ujung ceritanya.

IKN dibangun tidak dengan dana APBN, nyatanya APBN sudah terpakai untuk membangun IKN. Food estet dibangun trilun rupiah, hasilnya tidak jelas, dan dikritik habis oleh politikus dari kubu yang sama.

Banyaklah yang terbalik-balik. Kalau satu persatu disebutkan hampir semua diucapkan terbalik-balik. Ucapan terbalik itu rupanya tidak disadari sebagian masyarakat yang polos, kurang pendidikan, dan tidak terbiasa berbicara dengan terbalik-balik.

Penyakit bicara terbalik ini juga, sudah menjangkiti para politisi di senayan. Puja dan puji dengan mudah dilontarkan, yang sebetulnya tidak sesuai dengan batinnya. Tapi demi kekuasaan, demi cuan, demi kenikmatan dunia, dan menghindari kehidupan sengsara di dunia, verbalnya sering terbalik-balik. Tapi tidak semua memang, walaupun suaranaya nyaris tidak terdengar,

Tidak jauh bedanya dengan lembaga survei tertentu. Terkadang sering terbalik hasil survei dengan kenyataan dilapangan. Misalnya survei elektabilitas Anies tetap urutan ketiga  dari 3 calon Presiden. Kenyataannya di lapangan, jika Anies buat kegiatan  olah raga pagi, pertemuan simpatisan di semua daerah di banjiri puluhan atau bahkan ratusa ribu pendukung. Itu fakta dan jejak digitalnya dapat dilacak. Kenapa itu bisa terjadi, ya pengelola lembaga survei itu, otaknya sudah terbalik. Otak besar jadi kecil dan otak kecilnya sudah jadi jaringan.

Lembaga yudikatif juga sudah terbalik-balik keputusannya. Lihatlah Mahkamah Keluarga, membuat keputusan serba terbalik. Capres dan cawapres tetap minimal sekurang2nya 40 tahun, tetapi terbaliknya adalah pakai "atau" kalau sudah menjabat Kepala daerah melalui pemilihan umum.

Pemimpin yang sering mengungkapkan pikirannya atau kebijakannya sering terbalik-balik, akan menjurus berpotensi menjadi pemimpin pembohong. Persoalannya kita tidak tahu kapan dia berbohong dan kapan jujur. Karena mimik wajahnya sama saja. Jadi memerlukan ilmu tersendiri untuk membaca dan menganalisa apa yang diucapkan seorang pemimpin.

Kita harus lebih hati-hati lagi membaca pikiran dibalik ucapan pemimpin, atau elite politik, dalam masa menjelang Pemilu yang sudah semakin dekat. Banyak hal-hal yang mengaget kan terjadi. Pemain sandiwara politik sedang pentas di panggung kehidupan rakyat Indonesia yang masih dihimpit kemiskinan. Seolah-olah kenaikan harga bahan pokok, bergeraknya harga emas, kurs dollar yang melemahkan rupiah, tidak menjadi isu di tengah pesta "narkoba" yang bernama  "menggapai kekuasaan".

Para Menteri terutama yang menjadi Ketua Partai Politik, melalui instrumen kekuasaan sebagai Menteri, memperkuat posisi dengan mengumpulkan masa untuk diberi permen pemanis yang setelah habis manisnya, tinggal merasakan air liur yang pahit. Fasilitas negara digunakan untuk konsolidasi partai sepertinya sesuatu yang dianggap wajar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline