Menurut pakar hukum, dan yang juga dipahami selama ini, Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
UU SJSN dan UU BPJS adalah produk hukum yang bersifat Lex specialis. Sedangkan RUU tentang Kesehatan (Omnibus law), apapun produk UU dalam lingkup kesehatan ( faskes, SDM, konsep kesehatan, kesehatan jiwa, pendidikan kedokteran, dan banyak lagi ) ada sekitar 13 Undang-Undang adalah bersifat generalis.
Maknanya sesuai dengan logika dan nalar hukum, jika hendak dilakukan Omnibus sebagai konsep atau metode pembuatan regulasi yang menghimpun sejumlah aturan di mana substansi setiap aturan berbeda-beda adalah dalam lingkup lex generalis.
Dalam konteks _Omnibus law_ RUU Kesehatan ( lex generalis) yang mem-blended semua UU di lingkup kesehatan, juga menyambar UU SJSN dan UU BPJS yang Lex specialis.
Pola kerja penyusunan RUU Kesehatan seperti ini, akan menimbulkan banyak komplikasi public service_, khususnya dalam UU SJSN dan UU BPJS yang dipreteli dalam RUU Kesehatan. Pretelan ini akan berakibat pada semakin kacaunya arsitektur Sistem Jaminan Sosial Nasional dan model penyelenggaraannya yang dilaksanakan oleh BPJS.
Arsitektur UU SJSN dan UU BPJS yang bersifat Lex spesialis, tidak dimaksudkan untuk mengatur yang sudah diatur dalam regulasi sektor-sektor lembaga negara dan pemerintah.
UU SJSN dan UU BPJS bersifat lintas sektor, dan setiap sektor penyelenggara negara silahkan merujuk UU tersebut, terkait 5 program Jaminan Sosial yaitu Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian. Dan jangan lupa, kelima program itu bukan optional tetapi bersifat wajib.
Bagi sektor -- kementerian ingin menyusun regulasi kementerian, terkait Jaminan Sosial silahkan merujuk pada UU SJSN dan UU BPJS. Disitulah letak lex spesialisnya.
Perlu diingat, terkait dengan Program Jaminan Kesehatan, UU SJSN dan UU BPJS tidak mencampuri apa yang menjadi regulasi di sektor kesehatan. Maka itu UU SJSN tidak memberikan definisi atau pengertian atau norma terkait sesuatu yang mnjadi domain sektor kesehatan. seperti apa yang dimaksud faskes, Kebutuhan Dasar Kesehatan, rawat inap kelas standar, promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan juga apa yang dimaksud dengan indikasi medis, dan banyak term-term lainnya yang semuanya sudah ada diberbagai Undang-Undang, PP, Perpres, Permen, dilingkup Kementerian Kesehatan.
Pertanyaan adalah apakah hal-hal yang menurut UU SJSN dan UU BPJS perlu diatur oleh Kementerian Kesehatan dalam bentuk Perpres, maupun Permenkes sudah dilaksanakan oleh Kemenkes? Jawaban ada yang belum. Seperti konsep KDK, rawat inap kelas standar, penyempurnaan pembiayan Ina-CBGs, dan kapitasi, urun biaya, naik kelas rawat inap yang tidak perlu harus diatur dalam level Undang-Undang.
Dengan mem-blended RUU Kesehatan (Omnibus) dengan merombak beberapa pasal pada UU SJSN dan UU BPJS adalah salah kaprah dan diluar kewajaran serta tidak menyelesaikan persoalan kesehatan, dan bahkan dapat membuat porak porandanya arsitektur kesehatan dan arsitektur Jaminan Sosial Nasional.