PPKM Darurat itu adalah bentuk kebijakan pemerintah dalam suasana pandemi untuk mengendalikan wabah Covid-19, dengan melakukan vaksinasi massal, penyekatan mobilitas penduduk, optimalisasi RS untuk penanganan Covid-19 yang berat, Isoman bagi penderita ringan dan sedang, dan pemberian vitamin, zat daya tahan tubuh bagi Isoman.
PPKM Darurat itu hakekatnya adalah keberlanjutan PSBB yang diatur dalam Pasal 60 UU 6/2018, dan PP 21/2020 tentang Pelaksanaan PSBB. Serta adanya Perpres yang menetapkan kedaruratan skala nasional mengacu UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
rit dan hakekat kedaruratan atau kebencanaan itu, ada dua pihak yang saling bersinergi yaitu kewajiban pemerintah dan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat itu sangat diperlukan karena mereka itu yang disamping sebagai penderita ( korban) juga adalah pelaku untuk membantu korban lainnya, dengan semangat kemanusiaan.
Dalam keadaan darurat atau bencana, diseluruh dunia sudah menjadi kesepakatan untuk saling menolong, nirlaba, gotong royong, non diskriminatif, dan diharamkan untuk berbisnis dengan rakyatnya apapun alasannya. Kalau tidak ada uang, pemerintah dapat meminta bantuan dunia melalui PBB, dan WHO, pasti lembaga internasional itu akan membantu.
Tidak boleh ada logika terbalik, untuk mempercepat cakupan _herd immunity_, maka vaksin dijual kepada individu yang ingin membelinya. Jaka sembung, tidak nyambung.
Keluarnya Permenkes 19/2021, Tentang perubahan kedua atas peraturan menteri kesehatan nommor 10 tahun 2021 tentang pelaksanaan VAKSINASI dalam rangka penanggulangan pandemi CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19), terkait perubahan definisi vaksin gotong royong dan ditambah 'individu' untuk dapat dijual, sudah jelas melanggar Perpres 99/2020 jo 14/2021, yang hanya membenarkan adanya vaksin program dan gotong royong. Makna gotong royong itu sudah benar, perusahaan diminta membeli vaksin ( berbeda dengan vaksin program), untuk diberikan secara gratis pada karyawannya. Itulah namanya semangat partisipasi oleh pengusaha.
Dalam pelaksanaannya karena kurang lancar, pihak Kadin sepertinya jalan ditempat, pemerintah dalam hal ini Menteri BUMN tidak bisa "menekan" Kadin. Lebih mudah mungkin "menekan" Menkes Budi G Sadikin, yang pernah menjadi Wamen BUMN , untuk merevisi Permenkes Nomor 10/2021, menjadi Permenkes 19/2021 yang "heboh" itu. Jelas bunyi Permenkes itu, melemparkan tanggung jawab membeli vaksin gotong royong dari perusahaan kepada individu. Jelas Kadin saat ini tidak ada niat untuk membantu pemerintah.
Kita simak apa yang dikatakan Menkes, "Jadi ada beberapa misalnya perusahaan-perusahaan pribadi atau perusahaan-perusahaan kecil itu juga mereka mau mendapatkan akses ke vaksin gotong royong, tetapi belum bisa masuk melalui programnya Kadin, itu dibuka," kata Menkes. Dibukalah dengan Permenkes perubahan yang melindungi Kadin dan mengorbankan masyarakat.
Menteri BUMN melalui Wamennya, dengan sigap membuka uji coba gray PT.Kimia Farma untuk layanan vaksinasi berbayar dengan total biaya sebesar Rp. 800 ribu lebih per orang. Kimia Farma selaku perusahaan farmasi BUMN tentu tidak bisa membantah. Juga tidak bisa berkutik dengan perintah ditunda oleh Menkes pada 12 Juli 2021 yang lalu.
Hendaknya Permenkes 19/2021 tidak saja ditunda, tetapi juga harus dicabut pasal yang menyatakan vaksin berbayar oleh individu, karena tiga hal yaitu melanggar Perpres 99/2020 jo 14/2021, menimbulkan keresahan ditengah masyarakat, dan yang tidak kalah pentingnya dapat mengganggu kelancaran vaksinasi yang sedang digerakkan oleh TNI dan Polri yang pada 14 Juli 2021 kemarin capaian hariannya 1,5 juta penduduk.
Semangat luar biasa aparatur negara ini jangan dicederai oleh menteri-menteri pembantu Presiden yang mungkin punya agenda lain, yang tidak etis kalau diungkap.