Dalam kesempatan mengajar mata kuliah Implementasi Kebijakan Publik kepada mahasiswa, dalam menjelaskan peraturan perundang-undangan sebagai salah satu produk kebijakan publik, saya sering meng-ilustrasikan dengan kehidupan nyata disekeliling kita.
Dengan demikian, dirasakan bahwa berbagai kebijakan pemerintah yang merupakan kebijakan publik, sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan masyarakat di ruang publik. Maka itu prinsip kemanusiaan, keadilan, persamaan hak, dan non diskriminatif sering dijadikan asas setiap produk peraturan perundang-undangan yang diterbitkan.
Demikian juga dengan ilustrasi jika kita umpamakan UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, adalah seorang ibu yang hamil dan hasil USG, kembar lima. Artinya kelima bayi tersebut punya hak yang sama untuk lahir kedunia jika sudah waktunya. Tinggal disesuaikan dengan urutan pertama, kedua dan seterusnya.
Dalam suatu UU, sebagai suatu produk hukum, dalam rangka pemerintah melaksanakan fungsi pelayanan publik, jika tidak mungkin terlalu detail diatur, maka pada norma hukumnya ada sering disebutkan diatur lebih lanjut dengan PP, Perpres bahkan Peraturan Menteri yang mendapatkan mandat untuk melaksanakan UU dimaksud.
Oleh karena itu, seperti bayi dalam kandungan tadi, apalagi bayi kembar, sangat langka atau terasa aneh jika bayi kembar hanya satu bayi yang lahir, sisanya (kembarannya) masih di dalam rahim, dan tidak jelas kapan akan lahir. Kita tidak bisa membayangkan apa yang terjadi?.
Kontruksi seperti itulah yang terjadi dalam melahirkan PP sebagaimana di amanatkan dalam UU Nomor 6 tahun 2018. UU itu jelas dalam normanya mengharuskan ada 5 PP yang dihasilkan sebagai bentuk penjabaran dari substansi UU yang tercantum dalam pasal terkait.
Kelima PP dimaksud, ada pada Pasal 10, 11, 14, 48, dan pasal 60. Tetapi saat ini pemerintah baru menerbitkan PP terkait dengan Kriteria dan Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (pasal 60).
Itupun, tidak keseluruhan norma pasal 60 yang dijadikan PP. Dari dua dimensi kedaruratan yaitu Karantina (rumah, wilayah dan rumah sakit), serta PSBB, hanya PSBB yang diterbitkan PP nya, sedangkan perintahnya adalah satu kesatuan yaitu Karantina dan PSBB. Disini sudah ada kerancuan dalam implementasi kebijakan publik, dalam bentuk produk hukum yang tidak utuh dan konsisten.
Dengan kata lain, dalam pasal 60, tidak ada ketentuan untuk memisahkan PSBB sebagai produk PP tersendiri, yang dipisahkan dengan Karantina.
Mari kita cermati bunyi pasal 60: Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan pelaksanaan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kalau kita lihat dipenjelasan, tertulis cukup jelas, tidak ada lagi penjelasan khusus.