Lihat ke Halaman Asli

Chazali H Situmorang

TERVERIFIKASI

Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Dari Raker ke FGD, Ada Apa dengan DPR?

Diperbarui: 1 Februari 2020   00:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kita ketahui bersama, beberapa waktu yang lalu bagaimana  dinamika yang cukup tajam dalam Rapat Kerja antara Komisi IX DPR dengan Menkes, Direksi BPJS Kesehatan, DJSN, yang ujungnya berakhir buntu. Karena Menkes sudah lempar handuk tidak dapat memenuhi solusi yang sudah dijanjikannya dalam Raker terdahulu.  

Inti perdebatan adalah DPR menuntut janji Menkes untuk menggunakan "surplus" dari kenaikan dana PBI, untuk menbayar selisih kenaikan kelas III mandiri yang menurut anggota DPR Komisi IX adalah juga mereka miskin dan tidak mampu. Jumlahnya cukup banyak sekitar 19 juta peserta, dan akan terus bertambah karena banyak diantaranya  yang membayar di kelas II dan I turun kelas dan hanya membayar untuk tarif kelas III sebesar Rp.42.000.- Hitungan sementara sudah mencapai lebih dari 800 ribu peserta.

Sikap lempar handuk alias menyerah, menyebabkan anggota DPR semakin meradang, dan marah-marah. Kemarahan mereka wajar karena sikap lempar handuk dr.Terawan,  menunjukkan qualitas  kepemimpinan seorang Menteri, sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang anggota  Komisi IX, "baru kali ini saya Raker dengan Menteri yang menyerah, tidak memberikan solusi". Kalau dicermati tanggapan anggota DPR tersebut "sangat tajam" dan menohok sang Menteri.

Kenapa mereka begitu marah. Sebagaimana syair lagu "kau yang berjanji, kau yang mengingkari" itulah yang dirasakan, sehingga bangkitlah sahwat kekuasaan memarahi sehabis-habisnya pemerintah. Anggota DPR menyadari dan memanfaatkan betul wewenangnya untuk berbicara "sesukanya' dalam ruang sidang DPR  karena  dilindungi UU dalam melaksanakan fungsi pengawasan.

Saat ini posisi Menkes dr.Terawan terjepit dan terhimpit. DPR menuntut terus janji Menkes untuk mengeksekusi "melakukan subsidi silang terhadap peserta JKN mandiri kelas III dari dana PBI", yang jelas-jelas  tidak ada diamanatkan dalam Perpres 75/2019. Di sisi lain, Menko PMK, dan Menkeu tetap bersikukuh melaksanakan Perpres 75/2029 tanpa kecuali dan modifikasi.  

Sedangkan Dirut BPJS Kesehatan tidak dapat melaksanakan kebijakan Menkes tersebut, karena tidak sesuai dengan penggunaan Dana Jaminan Sosial yang limitatif sebagaimana diatur dalam UU BPJS. Ada potensi Dirut BPJS Kesehatan melanggar UU  jika mengikuti kemauan Menkes yang didukung DPR. Berat  sekali posisi Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan.

Dalam tulisan saya http://www.urbannews.id/opini/pak-menkes-masih-ada-solusi/ , memberikan solusi yang fundamental  yaitu menyelesaikan soal status dan jalan keluar untuk kelas III mandiri, sekaligus perbaikan basis data kesejahteraan sosial sebagai penerima PBI.  Tanpa harus ada pihak yang kehilangan marwah dan martabat diri dan lembaga.

Tetapi apa yang terjadi. Ternyata beberapa hari yang lalu DPR melaksanakan FGD (_Focus Group Discussion_), yang _Live Streaming_ nya beredar di media sosial, dan mnjadi viral. Intinya DPR meyakinkan Dirut BPJS Kesehatan dapat melakukan diskresi kebijakan yang melampui kewajibannya dengan  tidak menarik iuran kelas III mandiri yang sudah dinaikkan, tetapi tetap dengan menggunakan tarif iuran yang lama (Rp.25.500 POPB), untuk 19 juta peserta, total dana sekitar Rp. 3,7 trliun  untuk 1 tahun.

Untuk meyakinkan Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad ( dari fraksi Gerindra), mengundang Jaksa Agung, Kapolri, dan BPK, serta wakil dari Komisi III DPR. Pihak Kepolisian akan mengamankan apa yang akan menjadi kebijakan pemerintah. Kejaksaan Agung menyebutkan diskresi dapat dilaksanakan untuk kepentingan umum. 

Tetapi mencontohkan kasus dana abadi ummat di Depag, yang masuk dalasm proses pengadilan, dan merepotkan birokrasi di Kemenag. Ilustrasi tersebut menjadi pisau bermata dua bagi BPJS Kesehatan.

Pihak BPK, mengatakan belum ada pendapat, akan dikaji, sedangkan dari Dewas BPJS Kesehatan kalimat bersayap, tidak tegas, demikian juga DJSN, sikapnya masih  mengambang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline