Lihat ke Halaman Asli

Chazali H Situmorang

TERVERIFIKASI

Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

TPF 22 Mei 2019, Suatu Keharusan

Diperbarui: 26 Mei 2019   00:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sampai hari ini,  setelah kerusuhan berupa bentroknya demonstran dengan Polisi tanggal 22 Mei 2019 yang lalu di depan Bawaslu dan Tanah Abang,  masih ber sileweran berita-berita yang terkadang sulit dibedakan mana  yang hoaks dan mana yang  kejadian sebenarnya.

Pihak Polisi dalam setiap konpres yang dilakukan berulang-ulang melalui media mainstream TV, membangun opini yang cukup apik untuk meyakinkan  publik, bahwa Polisi khususnya Brimob telah menangani para demonstran, (bahkan Polisi menyebutnya dengan sebutan perusuh)  dengan profesional dan persuasif. Polisi tidak dipersiapkan dengan senjata tajam, hanya pentungan, pelindung/tameng, dan peluru gas air mata.

Dalam kerusuhan yang berlangsung semalaman dini hari 22 Mei 2019 di depan Bawaslu dan Tanah Abang, menghasilkan korban jiwa yang jumlahnya simpang siur. Penjelasan resmi 6 orang tewas, ada yang menyebutkan 8 orang, dan bahkan ada menyebutkan belasan orang,  masuk rumah sakit ratusan  orang karena luka-luka berat dan ringan.

Ratusan orang ditangkap (  sekitar 250 orang lebih sebagai tersangka), beberapa pucuk senjata, anak panah, batu, botol molotov, uang dalam ampelop total 5 juta dan uang dollar di temukan. Asrama Polisi di Petamburan diserbu, dan ada 25 mobil terbakar.

Dari pihak pendemo, beredar di media sosial, melalui video pihak Polisi mengejar-ngejar demonstran, bahkan ada seorang demonstran tertangkap dipukuli rame -- rame , dan ada juga Masjid yang porak poranda kena peluru gas air mata.

Mereka yang tewas terkena peluru tajam. yang menurut Polisi bukan dari Polisi. kemudian juga ditemukan tumpukan peluru pajam, dan macam-macam peristiwa yang memilukan dan patut diduga sudah terjadi pelanggaran HAM.

Dalam skema kerusuhan tersebut, dapat dipetakan bahwa ada 2 pihak yang saling berinteraksi. Pihak pertama demonstran tertib   berhadapan dengan Polisi di depan Bawaslu. Pihak kedua Polisi dengan demonstrans liar ( perusuh),  saat demonstran tertib sudah menarik diri.

Kenyataan di lapangan, tidaklah persis yang dipetakan dalam pola 2 pihak demonstran  berhadapan dengan Polisi. Ada irisan kedua kelompok tersebut yang sulit mengidentifikasikan nya. 

Disinilah titik rawan suatu peristiwa demonstran yang sering terjadi di Indonesia.  Ada saja yang mencoba bermain di air keruh.  Hal tersebut bisa dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan, tidak kecuali pemerintah dan Polisi itu sendiri.

Agar tidak terjadi saling tuding antara Polisi dan masyarakat demonstrans dan korban tindakan kekerasan oleh Polisi, maka perlu dilakukan penyelidikan terjadinya kerusuhan secara komprehensif.

Presiden Joko Widodo harus segara melakukan langkah konkrit untuk mengokohkan demokrasi di Indonesia, dan  mencegah masuknya lembaga dunia karena Pemerintah di duga sudah melanggar HAM, sebagai berikut :

  • Membentuk Tim Pencari Fakta yang independen, melalui Keputusan Presiden, sebagai dasar berpijak untuk bekerja.
  • TPF harus bekerja cepat, mengumpulkan bukti-bukti, mencek korban, mewawancarai para saksi hidup yang terlibat di lokasi.
  • Menginvestigasi Polisi dan jalur komando  yang berlangsung saat kejadian peristiwa , mendalami SOP yang telah diterapkan.
  • Melakukan cross check antara penjelasan Polisi, dengan penjelasan demonstran yang jadi korban dan yang ditangkap, serta masyarakat setempat , dicocokkan dengan bukti yang diperoleh
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline