Lihat ke Halaman Asli

Chazali H Situmorang

TERVERIFIKASI

Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Apakah Mungkin "Serangan Fajar" Dapat Dihilangkan?

Diperbarui: 7 April 2019   11:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Persoalan sarangan fajar yang dilakukan pada malam atau pagi hari menjelang Pemilu, marak dibicarakan oleh berbagai pihak. Di Radio El-Shinta misalnya, hampir setiap hari kita dengar ulasan tentang "serangan fajar" dengan berbagai narasumber yang berbeda. 

Tujuannya supaya mengingatkan para calon-calon legislatif maupun capres, tidak melakukan pemberian uang saat  untuk memilih yang bersangkutan pada saat mencoblos di bilik suara oleh pemilih.

Soal pemberian uang menjelang pencoblosan  dari dulu sampai sekarang populer dengan istilah "serangan fajar"  merupakan masalah klasik. Bahkan ada kecenderungan meningkat. Hal tersebut diperkuat hasil penelitian 

Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi, "Tahun 2014, saya melakukan penelitian dengan berbagai metode pertanyaan pada responden, didapat bahwa sebanyak 33 persen masyarakat mengaku menerima praktik politik uang. Artinya, 1:3 masyarakat menerima politik uang. Bahkan yang lebih menyedihkan, Indonesia menempati peringkat terbesar ke-3 di dunia dengan praktik politik uang di dunia," ujar Burhanuddin.

Maraknya politik uang atau "serangan fajar" menjelang pencoblosan di bilik suara dengan tingkat pengakuan masyarakat sebanyak 33% menerima uang, dalam realitanya mungkin lebih besar lagi. Karena ada yang tidak mengakui menerima uang disebabkan masih ada rasa malu, atau kesepakatan dengan yang memberi untuk tidak mengakui menerima uang.

Jika hal tersebut semakin banyak yang melakukannya, maka bukan tidak mungkin persoalan "serangan fajar" sesuatu yang lumrah, walaupun ada aturan hukum yang melarangnya.

Bahkan strategi "serangan fajar"  menjadi modus para calon legislatif dengan merubah strategi kampanyenya. Dalam masa kampanye tidak terlalu jor-joran karena dana yang ada di hemat untuk "serangan fajar". Ternyata modus tersebut lebih efektif untuk mendulang suara.

Temuan OTT oleh KPK terhadap caleg dan anggota DPR RI dari partai besar yang sudah ada sejak Orde Baru, merupakan bukti nyata modus dimaksud. Sebulan menjelang Pemilu menyiapkan amplop dengan berisi uang Rp 20 ribu sampai dengan Rp.50 ribu, dengan jumlah amplop sangat spektakuler 400 ribu amplop.   

Para tokoh masyarakat, bahkan Ulama juga sudah gusar atas gejala yang sudah endemi tersebut.  Ada perasaan putus asa untuk memutus mata rantai gerakan ataupun "serangan fajar" tersebut. Sehingga keluar fatwa yang menyatakan  pemberi dan penerima uang sogok Pemilu mendapatkan dosa yang sama.

Fatwa tersebut, seperti tidak begitu efektif, karena sulitnya menolak amplop yang berisi uang, sedangkan kebutuhan ekonomi didepan mata mereka semakin sulit untuk memenuhinya. Mereka berpikir pragmatis ( sumbu pendek)  dan tidak sanggup untuk berpikir jangka panjang (sumbu panjang).

Para Ulama, dan tokoh masyarakat dan negarawan yang khawatir dengan pragmatisme berpikirnya masyarakat, maka  himbauan yang dimunculkan adalah " terima uangnya, jangan dipilih orangnya. Niatnya uang  yang diberikan merupakan sedekah". "Jika dipilih orangnya, itu baru namanya uang sogokan, dan haram hukumnya".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline