Oleh : Dr. Chazali H. Situmorang, ( Dosen FISIP UNAS, Pemerhati Kebijakan Publik)
Selama tiga bulan terakhir masa kampanye Pilpres dan Pileg, terlalu banyak hal-hal yang terjadi yang terungkap diberbagai media, khususnya media sosial yang seolah-olah sudah tidak ada lagi batasan moralitas yang dipakai, agar lalu lintas komunikasi berjalan dengan efektif dan mencapai sasaran yang dikehendaki.
Kondisi ini tidak terlepas dari tersumbatnya komunikasi melalui media mainstream baik cetak maupun elektronik, sebagai wadah untuk mengungkapkan suara rakyat dari bawah yang harus didengar oleh para pejabat publik sebagai input dalam membuat keputusan publik.
Fungsi media mainstream saat ini lebih bersifat membawa kepentingan sekelompok elite politik, yang berkolaborasi dengan kekuasaan pemerintah secara terus-menerus memberikan opini bahwa apa yang dilakukan para pejabat publik sesuatu yang benar, dengan penetrasi psikologis membuat framing-framing sehingga secara perlahan, dan alam di bawah sadar rakyat membenarkan "kebenaran" itu.
Adapun keluhan dan problem rakyat di minimalisasikan beritanya, dan ditenggelamkan dengan berbagai keberhasilan, yang sering tidak sadar bahwa keberhasilan itu bukanlah murni kerjaan pemerintah sekarang, tetapi juga pemerintah-pemerintah sebelumnya. Benang merah keberlanjutan pemerintah coba diputuskan.
Hanya satu hal yang tidak diputus benang merahnya oleh pemerintah sekarang, yaitu soal berhutang. Soal ini konsisten melibatkan pemerintah-pemerintah sebelumnya.
Penyumbatan media mainstream berimbas penuh sesaknya berita-berita media sosial dalam upaya mengungkapkan berbagai persoalan rakyat dengan segala dimensi, dan hubungannya dengan pejabat publik yang umumnya menggambarkan disharmonisasi, bahkan dalam suasana kampanye ini, rakyat itu seolah-olah sudah terbelah dua antara Petahana dan penantang petahana dalam merebut suara rakyat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Akibatnya, kedua saluran media mainstream, dengan media sosial, kehilangan moralitas publik.
Media mainstream, sudah kehilangan kepekaannya mendengar suara rakyat. Kepekaannya hanya terfokus pada suara-suara kekuasaan, suara-suara politisi yang berkuasa, suara-suara pebisnis yang menempel kekuasaan, bahkan ada yang rela membuat hoax, yang semuanya itu bermuara untuk kepentingan keberlangsungan hidup media itu sendiri.
Media sosial lebih terfokus pada mendengarkan dan mengungkapkan keluhan dan penderitaan rakyat yang menjadi korban kekuasaan, kecurangan kekuasaan, pembohongan, pencitraan, persekusi, diskriminatif, bahkan berbagai ancaman yang terus-menerus digencarkan tanpa henti-hentinya. Bahkan tidak luput juga dibarengi dengan berita-berita hoax.