Lihat ke Halaman Asli

Chazali H Situmorang

TERVERIFIKASI

Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Menjaga Moralitas Publik

Diperbarui: 20 Februari 2019   23:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Dr. Chazali H. Situmorang, ( Dosen FISIP UNAS, Pemerhati Kebijakan Publik) 

 

Selama tiga  bulan terakhir  masa kampanye Pilpres dan Pileg, terlalu banyak hal-hal yang terjadi yang terungkap diberbagai media, khususnya media sosial yang seolah-olah sudah  tidak ada lagi batasan moralitas yang dipakai, agar lalu lintas komunikasi berjalan dengan efektif dan mencapai sasaran yang dikehendaki.

Kondisi ini tidak terlepas dari  tersumbatnya komunikasi melalui media mainstream baik cetak maupun elektronik, sebagai wadah untuk mengungkapkan suara rakyat dari bawah yang harus didengar oleh para pejabat publik sebagai input dalam membuat keputusan publik.

Fungsi media mainstream saat ini lebih bersifat membawa kepentingan sekelompok elite politik, yang berkolaborasi dengan  kekuasaan pemerintah   secara terus-menerus memberikan opini bahwa apa yang dilakukan para pejabat publik sesuatu yang benar,  dengan penetrasi psikologis membuat framing-framing sehingga secara perlahan, dan alam di bawah sadar rakyat membenarkan "kebenaran" itu. 

Adapun keluhan dan problem rakyat di minimalisasikan beritanya, dan ditenggelamkan dengan berbagai keberhasilan, yang sering tidak sadar bahwa keberhasilan itu bukanlah murni kerjaan pemerintah  sekarang, tetapi  juga pemerintah-pemerintah  sebelumnya. Benang  merah  keberlanjutan pemerintah  coba diputuskan.  

Hanya satu hal yang tidak diputus benang merahnya oleh pemerintah  sekarang, yaitu soal berhutang. Soal ini konsisten melibatkan pemerintah-pemerintah  sebelumnya.

Penyumbatan media mainstream berimbas penuh sesaknya berita-berita media sosial dalam upaya mengungkapkan berbagai persoalan rakyat dengan segala dimensi, dan hubungannya dengan pejabat publik yang umumnya menggambarkan disharmonisasi, bahkan dalam suasana kampanye ini, rakyat itu seolah-olah sudah terbelah dua antara Petahana dan penantang petahana dalam merebut suara rakyat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Akibatnya, kedua saluran media  mainstream, dengan media sosial,  kehilangan moralitas publik. 

Media  mainstream, sudah kehilangan kepekaannya mendengar suara rakyat. Kepekaannya hanya terfokus pada suara-suara kekuasaan, suara-suara politisi yang berkuasa, suara-suara pebisnis yang menempel kekuasaan, bahkan ada yang rela membuat hoax,  yang semuanya itu bermuara untuk kepentingan keberlangsungan hidup media itu sendiri.

Media sosial  lebih terfokus pada mendengarkan dan mengungkapkan  keluhan dan penderitaan rakyat yang menjadi korban   kekuasaan,  kecurangan kekuasaan, pembohongan, pencitraan, persekusi, diskriminatif, bahkan berbagai ancaman yang  terus-menerus  digencarkan tanpa henti-hentinya. Bahkan tidak luput juga dibarengi dengan berita-berita hoax.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline