Lihat ke Halaman Asli

Chaycya Oktiberto Simanjuntak

Suka menulis dan traveling

Ahok dan Fenomenanya di Indonesia

Diperbarui: 9 Mei 2017   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Source: inilah.com

WARGA terbagi tiga kubu di Indonesia sejak Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden 2014 lalu. Warga yang seyogianya satu, yakni Warga Negara Indonesia (WNI) terpecah menjadi tiga kelompok. Yang satu kelompok yang menyatakan diri sebagai Jokower (pendukung Jokowi), dan satu pendukung Prabowo. Satunya lagi? kelompok netralis mengarah ke apatis, tapi ini sekelompok kecil.

Kemajuan teknologi informasi membuat kita saling terhubung secara global lewat jaringan sosial media. Tinggal buat akun, pasang poto profil, maka terkoneksilah kita kepada sesiapa pun mahluk manusia di muka bumi ini. Lantas apa hubungannya dengan Pemilu 2014 lalu? Ada. Karena sosial media itu menjadi rumah saling diskusi, saling serang, saling memaki, saling perang kata-kata antara masing-masing pendukung, dengan penonton kelompok netralis yang apatis tadi.

Edan memang pengaruh pesta demokrasi sebagai bagian dari kedewasaan berpolitik ini. Dampaknya, orang di ujung sana, bisa secara bebas menjudge tokoh atau orang yang berseberangan dengannya, seolah dia paling tahu karakteristik dan sifat si orang tersebut daripada keluarga satu rumahnya. Segala informasi yang dibagikan di sosial media ditelan bulat-bulat, tak perduli itu hoax atau tidak. Soal benar atau tidak, nanti dulu, yang penting itu bisa jadi bahan untuk menyerang. Tak ada sortir, dan bablas.

Ujungnya? Yang tadinya bersahabat bisa jadi musuhan, yang tadinya bersaudara, bisa putus ikatan, dan yang tadinya berpacaran dan sudah mau tunangan, akhirnya putus hubungan. Hanya karena ketidaksamaan dukungan.

Parahnya lagi, kampanye massive itu akhirnya membawa-bawa 'sesuatu hal yang tak harusnya pantas',  SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Yang satu teriak kafir, yang satu teriak PKI, yang satu teriak kecebong, Ah sedih!!! dimana logika berkampanye sehat melakukan pembiaran terhadap pendukung seperti itu.

Selesai pemilihan, bukannya makin mereda. Kembali ada fenomena baru, masih dari tema yang sama, pesta demokrasi, yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sebenarnya pelaksanaannya hampir serentak di seluruh Indonesia, tapi yang satu ini, yakni Pilkada Jakarta, sejak jauh hari sudah menjadi perhatian yang seksi dari berbagai kalangan. Bahkan, akibat informasi dari jaringan sosial media, euforia pelaksanaannya pun turut dirasakan berbagai sudut dan kelompok masyarakat di negeri ini.

Pilkada sih sebenarnya biasa saja, tapi calonnya yang luar biasa menguras perhatian. Ada tiga calon kala itu, yakni Agus Harimurti Yudhoyono-Silviana Murni, Basuki 'Ahok' Tjahaya Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.  Pilkada putaran pertama, pasangan Agus-Silvi koid, dan dua pasangan calon lainnya maju ke putaran kedua.
Namun, saat proses pelaksanaan Pilkada ini, sangat banyak sekali isu-isu yang digoreng menjadi berita, sehingga membentuk opini masyarakat.

Masing-masing isu menjatuhkan pribadi para calon. Salah satu yang paling populer adalah kasus penistaan Agama yang dilakukan Ahok, dan menjadi fenomena di Indonesia untuk jangka waktu yang lama. Adalah Buni Yani yang pertama sekali mengunggah video yang menjadi sumber tuduhan Ahok melakukan penistaan agama dengan mengutip salah satu nats dari Alquran, yakni Surat Al Maidah ayat 51 saat kunjungannya ke Pulau Seribu.

Hanya karena satu potongan kata, ia dituduh dan diseret ke pengadilan, tak hanya itu dilarang bepergian ke luar negeri. Padahal saat itu status Ahok adalah sebagai Gubernur DKI Jakarta yang menggantikan Joko 'Jokowi' Widodo yang kini menjadi presiden kita. Ahok menjadi incumbent dalam Pilkada DKI 2017 ini. Isu ini digoreng, beberapa kelompok radikal di negeri ini berusaha meng-cut-nya lewat berbagai aksi, mulai dari aksi 411, 212, dan yang terbaru angka Levi's 505. Mereka menuntut Ahok dimakzulkan. Berbagai teriakan lantang kafir, kafir dilarang memimpin, hingga teriakan-teriakan SARA yang mendiskreditkan menjadi tontonan sehar-hari di berbagai media layar kaca maupun cetak.

Sebagai awam, sedih dan miris banget menyaksikan itu semua. Bagaimana bisa praktik berdemokrasi dengan kebebasan berpendapat menjadi kebablasan di negeri ini? Pernyataan-pernyataan yang diorasikan sangat un-educated dan berpotensi memecah belah kerukunan berbangsa dan bernegara. Bagaimana bisa puluhan atau ratusan ribu itu bergerak hanya karena satu orang?  Katanya negara diminta jangan intervensi, kaum radikal dibiarkan bebas turun ke jalanan meski pun teriakan-teriakan yang dilantangkan sangat menekan kaum minoritas. Hingga akhirnya? fenomena kembali terjadi. Intervensi hasutan melalui aksi 'berbuah manis' di pengadilan.  Sidang putusan dengan agenda Putusan Kasus Penistaan Agama dengan Terdakwa atas nama Basuki 'Ahok" Tjahaja Purnama kembali membuat orang-orang yang berseberangan dengannya itu tersenyum bahagia.

Betapa tidak, oleh majelis hakim, menyatakan Ahok terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal 156a huruf a KUHP, yakni secara sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama. Ahok pun divonis hukuman pidana penjara selama 2 tahun. Ini menjadi babak akhir Al-Maidah 51 yang sebelumnya dijadikan sebagai senjata untuk tidak memilih pemimpin non-muslim seperti yang diserukan para pengunjuk rasa buat Ahok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline