Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub Miskawayh atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Miskawayh terlahir di Rayy, Iran pada tahun 940M. Masa kecilnya ia banyak ia habiskan di tanah kelahirannya. Ia memulai perjalannya ketika ia beranjak dewasa, menuju ke Baghdad. Di kota itu, ia bekerja sebagai pustakawan di sebuah perpustakan pada masa pemerintahan Dinasti Abasid. Ia tinggal disana cukup lama, hingga beberapa kali pergantian kekuasaan. Perpustakaan bagi Ibnu Miskawayh merupakan tempat yang membuatnya mampu dengan mudah untuk mengakses berbagai ilmu pengetahuan.
Ia secara tekun dan serius melakukan kajian di banyak bidang, contohnya seperti Filsafat, sejarah, kedokteran, bahkan kimia. Namun, ditengah banyaknya kajian yang ia tekuni, kajian utama yang menjadi perhatiannya adalah filsafat Yunani dan sejarah.
Berangkat dari kedua kajian inilah yang nantinya akan mengantarkan dirinya menjadi seorang intelek yang mengagumkan dalam kedua bidang tersebut. Sebagaimana ilmuwan-ilmuwan yang hidup pada masanya, ia mempelajari filsafat dan sejarah sebagai alat guna menemukan kebenaran. Namun, ia lebih memberikan tekanan pada kajian filsafat etika, ia kemudian merumuskan langkah membangun moral yang sehat serta menguraikan cara-cara membangun jiwa yang harmonis.
Di kemudian hari, Ibnu Miskawayh lebih dikenal sebagai seorang Islam Humanis. Hal ini dikarenakan ia memiliki kecenderungan agar islam dapat masuk kedalam sistem praktik rasional yang lebih luas pada semua bidang kemanusiaan.
Dengan berbekal kajian filsafat Yunani, ia kemudian terpengaruh oleh pemikiran Neoplatonisme, baik pada sisi teori maupun praktik. Label humanis yang dimiliki oleh Ibnu Miskawayh ini juga disematkan oleh banyak kalangan pemikir muslim, salah satunya adalah Ahmed Arkoun. Ia menyematkan label ini kepada Ibnu Miskawayh sebagai seorang humanis pada tahun 1969. Penyematan nama ini dilihat berdasarkan sudut pandang intelektual Islam, bukan tradisi intelektual Eropa.
Dalam kajian filsafat etika, Ibnu Miskawayh mengeluarkan sebuah karya monumental, yaitu Tahdib al-Akhlaq (Pembinaan Akhlak). Dalam buku yang terdiri dari tujuh bagian ini, secara umum ia membicarakan mengenai bagaimana seseorang dapat mencapai kebahagiaan tertinggi melalui moral yang sehat. Dengan kata lain, buku ini menggambarkan bagaimana berbagai bagian jiwa diharmonikan untuk mencapai kebahagiaan. Inilah menjadi peran para filsuf moral atau etika untuk memberikan resep bagi kesehatan moral yang berpijak pada kombinasi pengembangan intelektual dan praktik keseharian.
Pada bagian awal bukunya, Ibnu Muskawayh membicarakan mengenai jiwa dan sifat-sifatnya. Menurutnya, seseorang akan mampu menggapai kebahagiaan hidup jika ia dapat menciptakan kebahagiaan moral dengan memenuhi sifat-sifat jiwa, diantaranya adalah kedahagaan jiwa atas asupan ilmu. Ia memandang bahwa ilmu akan menuntun manusia untuk tidak hanya bergantung pada hal yang bersifat materi. Selanjutnya, ilmu itu akan membuat manusia memiliki kebijaksanaan dalam meniti hidup yang akhirnya menjadikannya sebagai manusia yang selayaknya.
Dalam penjelasan berikutnya, ia menguraikan tentang jenis kebahagiaan dan sifat-sifat yang dimilikinya. Dalam pandangannya, setiap manusia mampu mencapai setiap jenis kebahagiaan dengan cara memenuhi sifat-sifat kebahagiaan tersebut. Menurutnya, ada dua hal yang dapat memengaruhi manusia dalam mencapai kebahagiaan, yaitu kondisi internal dan eksternal diri individu tersebut.
Kondisi internal yang memengaruhi pemikiran dan arah moral seseorang adalah kesehatan tubuh dan kemampuan dirinya dalam mengendalikan temperamen. Sedangkan, kondisi eksternal adalah keadaan yang terkait dengan hubungan dirinya dengan orang lain serta lingkungan sekitarnya. Kedua kondisi inilah yang kemudian memperkaya jiwa individu dalam mencapai kebahagiaan dirinya.
Menurut Ibnu Miskawayh, jiwa berasal dari limpahan akal aktif ('aqlfa'al). Jiwa bersifat rohani yang memiliki substansi sederhana yang tidak dapat diraba pancaindra. Jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu dengan yang lainnya. Daya pengenalan dan kemampuan jiwa lebih jauh jangkauannya dibanding daya pengenalan dan kemampuan materi. Bahkan, dunia materi tidak akan sanggup memberi kepuasan kepada jiwa.
Lebih jauh lagi, Ibnu Miskawayh menjelaskan bahwa di dalam jiwa terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan indrawi. Dengan daya pengenalan akal tersebut, jiwa mampu membedakan antara benar dan tidak benar yang berkaitan dengan hasil produksi pancaindra. Perbedaan itu dilakukan dengan membanding-bandingkan objek-objek indrawi yang satu dengan yang lainnya.