Guru sering disebut juga sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, sebagai peletak fondasi dasar Pendidikan. Manusia dapat berkembang secara intelektual dan karakter akibat dari pembinaan dan pengetahuan yang dibagikan oleh guru. Akan tetapi, guru sering kali juga diekspoitasi oleh tuntutan-tuntutan yang ada, dibebankan oleh tugas-tugas administrasi. Apakah guru dapat dikatakan sebagai karyawan? Ataukah pendidik? Ataukah system kapitalisme masuk dalam dunia Pendidikan.
Guru pada dasarnya adalah pendidik, yang berusaha mendidik anak-anak agar bisa berkembang. Sebagai penulis, saya ingin pembaca kembali merefleksikan proses pendidikannya saat awal memasuki sekolah dasar (SD). Saya sendiri merenungkan bahwa saat itu saya masih belum mengenal huruf A-Z, belum bisa berhitung apalagi membaca dan menulis. Setelah berbulan-bulan dikelas satu kemudia membaca dan menulispun menjadi lancar.
Bayangkan waktu itu, dalam ruangan kelas satu ada anak-anak yang terdiri sekitar empat puluh delapan orang anak. Rata-rata belum bisa membaca dan menulis. Gurunya hanya satu. Luar biasa dengan satu orang mampu membuat anak dalam jumlah itu bisa membaca dan menulis sehingga dapat melanjutkan Pendidikan ke jenjang berikutnya yaitu kelas dua. Saya waktu itu sekolah di kampung, flores-NTT.
Dengan bergantinya kurikulum, dan guru yang sudah mengenyam Pendidikan hampir empat tahun bahkan lebih dituntuk lagi untuk bekerja sesuai kurikulum. Hal ini memang bagus agar dapat beradaptasi sesuai perkembangan dan kebutuhan zaman. Pertanyaannya, guru yang tidak mampu bekerja sesuai dengan kurikulum yang ada, binggung dan pusing memikirkan administrasi yang harus dikerjakan dan dapat tidak fokus menjalankan tugas yang semestinya sebagai pendidik. Ataukan guru yang bekerja sesuai tuntutan orang tua dari murid. Yang mempersalahkan guru, jika anaknya tidak berkembang. Jadi, beban pada guru bertambah. Guru bekerja dibawa tekanan-tekanan yang ada.
Mengapa saya katakan kapitalisme Pendidikan? Saya ingin membawa pembaca merenungkan, bahwa misalnya pada sekolah yang dibayar mahal oleh orang tua. Dengan tuntutan anaknya dapat menjadi anaknya yang cerdas dan berkembang baik bakat mapun dapat mewujudkan mimpinya. Andaikata, anak mendapat nilai yang kecil dibawa standar yang ditentukan sekolah, orang tua tentu ada yang protes dan dapat menekan guru yang bersangkutan. Dengan pertanyaan, mengapa anak saya mendapatkan nilai dibawa standar atau kenapa anak saya tidak memahami pelajaran?
Yang dipersalahkan guru bukan anak. Apakah ini tidak menjadi salah satu bagian dari sistem kapitalisme. Seorang dituntut untuk bekerja ekstra, dapat diungkapkan bahwa bekerja untuk memenuhi tuntutan,dan bepikir yang dapat menguras energi seandainya ada anak yang mendapat nilai dibawa standar, tidak menikmati lagi.
Mengapa Gaji Tidak sesuai UMR
Mengapa gaji guru yang honorer, pemerintah tidak membuat undang-undang agar gaji mereka juga sesuai dengan UMR yang berlaku. Apa beda pekerjaan menjadi guru dengan menjadi tenaga kerja yang lainnya. Bayangkan saja guru yang kuliah S1 dengan pekerja yang lulus SMA pada sebuah perusahaan. Guru gaji jauh dibawa UMR dan yang pekerja yang lulus SMA gaji sesuai UMR. Menurut saya seperti tidak ada penghargaan terhadap guru honorer yang sudah mengenyam Pendidikan S1 dan mendidik anak-anak generasi bangsa.
Apakah menjadi guru hanya sebuah pengabdian dan tidak memikirkan kehidupan secara ekonomi untuk memenuhi kehidupan keluarganya? Saya ingin membuat pembaca sejenak memikirkan apabila upah guru di Jakarta masih dibawa dua juta. Dengan biaya kos, makan-minum dan sebagainya. Apakah ada untuk menabung? Apakah guru makan empat sehat lima sempurna, ataukah guru makan apa adanya, juga tidak ada untuk menabung.
Pengabdian