RAPBN 2015 yang disusun oleh pemerintahan Presiden SBY dan RUU-nya telah disetujui DPR, saat ini menjadi perhatian banyak pihak, termasuk Presiden dan Wakil Presiden terpilih Jokowi-JK karena mengindikasikan defisit anggaran sebesar Rp.245,9 triliun. Defisit tersebut sebagian besar disebabkan subsidi BBM. Solusi yang realistis saat ini adalah menaikkan harga BBM.
Urusan menaikkan harga BBM akan menjadi masalah pemerintahan Presiden terpilih Jokowi karena pemerintahan Presiden SBY enggan untuk melakukannya dengan alasan bahwa waktu yang tidak tepat untuk melakukannya. Jokowi sendiri sebagai Presiden terpilih telah mengindikasikan adana kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp.3.000 per liter pada awal masa pemerintahannya.
Jika memang subsidi BBM membebani anggaran negara dan harga BBM akan dinaikkan, maka Pemerintah sebaiknya menghapuskan seluruh subsidi BBM sekaligus, sehingga tidak ada lagi yang namanya BBM bersubsidi. Dengan demikian harga BBM menjadi seragam di sekitar Rp. 11.000 per liter. Sebagai dampaknya, tingkat inlasi akan naik secara signifikan. Tetapi itu hanya untuk sekali waktu saja. Tingkat inflasi selanjutnya akan relatif rendah dan stabil jangka yang lebih panjang.
Ada beberapa hal positif yang dapat diperoleh dari penghapusan subsisi BBM. Pertama, berkurangnya tekanan terhadap rupiah mengikuti berkurangnya defisit anggaran karena subisidi BBM. Stabilnya nilai rupiah akan mengurangi tingkat inflasi produk-produk impor.
Kedua, subsidi dapat dialihkan menjadi pembangunan sarana dan prasarana yang dapat menciptakan kompensasi langsung terhadap dampak inflasi. Pembangunan sarana dan prasarana juga akan memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang positif bagi pendapatan nasional.
Contohnya, perbaikan atau perluasan/penambahan jalan akan memperlancar arus lalu lintas dan mengurangi konsumsi bahan bakar kendaraan. Kemacetan di jalan menghabiskan bahan bakar ekstra yang tidak sedikit, bisa 2 atau 3 liter per kilometernya untuk mobil dan kendaraan pengangkut barang.
Jika misalnya konsumsi bahan bakar utk jarak 30 kilometer biasanya 5 liter atau setara Rp. 32.500 pada harga BBM Rp. 6.500 per liter, maka jika bisa di hemat 1 liter saja menjadi 4 liter, biaya BBM akan menjadi Rp.44.000 pada harga Rp.11.000 per liter. Jika bisa dihemat sebanyak 2 liter maka total biaya BBM akan relatif sama dengan sebelum kenaikan harga.
Penghematan BBM sebanyak 2 liter atau sekitar 40% dari sebelumnya pada kenyataannya mungkin sulit dicapai. Tetapi substansinya adalah bahwa dengan perbaikan kualitas maupun luas jalan raya akan terjadi penghematan biaya transportasi secara keseluruhan.
Ketiga, subsidi BBM dapat ditukar menjadi subsidi bentuk lain yang lebih tepat sasaran seperti subisidi untuk kesehatan, pendidikan, petani, nelayan dan UKM. Berbagai studi menunjukkan bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran karena yang menerima manfaatnya kebanyakan malah kelompok masyarakat yang berpenghasilan tinggi.
Keempat, subsidi BBM dapat dialihkan untuk meningkatkan kesejahteraan PNS serta anggota TNI dan Polri sebagai bagian dari upaya Pemerintah melakukan perbaikan birokrasi dan pemberantasan korupsi dan pungli. Berkurangnya waktu yang terbuang dan hilangnya biaya-biaya siluman akan membantu masyarakat dalam menghadapi dampak kenaikan BBM dan menekan tingkat inflasi itu sendiri.
Para pelaku usaha sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen pasti akan menyesuaikan diri dengan kenaikan harga BBM. Akan terjadi kenaikan biaya tenaga kerja dan biaya operasional untuk produksi dan distribusi. Pengusaha akan terdorong untuk menaikkan harga. Tetapi persaingan yang ketat akan membatasi mereka untuk menaikkan harga seenaknya. Karena itu, pengusaha akan selalu mencari cara untuk menaikkan tingkat efisiensi dan produktivitasnya untuk menekan harga pokok produksi.