Dari wacana, kini mulai menjadi aksi. Rencana pemerintah mengkonversi kompor gas ke kompor listrik sudah bergerak ke tahap uji coba.
Melansir Kompas.com (21/9/2020), pemerintah melalui PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sudah dan sedang melakukan percobaan di sejumlah daerah seperti Denpasar dan Solo.
Pemerintah menargetkan 300 ribu penerima mendapat paket kompor listrik yang terdiri dari kompor listrik dua tungku, satu alat masak, dan satu MCB (miniature circuit breaker).
Mereka yang menerima manfaat satu paket kompor listrik siap pakai senilai Rp1,8 juta itu adalah yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). DTS merupakan "sistem data elektronik yang memuat informasi sosial, ekonomi, dan demografi sekitar 99 juta individu dengan status kesejahteraan terendah di Indonesia."
Jelas dengan sendirinya yang menerima manfaat dari uji coba itu adalah kelompok masyarakat miskin. Para penerima tahap pertama ini masih belum seberapa dari jumlah keseluruhan yang terdaftar dalam DTKS.
Pemerintah sepertinya masih mencari model, mekanisme teknis, hingga respon masyarakat golongan bawah akan rencana beralih dari gas ke kompor listrik.
Hemat saya, bila diberi secara pro deo alias gratis, siapa pun akan menerima dengan senang hati. Namun, apakah upaya konversi itu akan mendapat sambutan luas dari semua lapisan masyarakat dan memiliki daya gerak dan berubah signifikan?
Dengan kata lain, apakah kompor elpiji 3 kg akan segera menjadi kenangan? Sambil mengucapkan sayonara, semua pihak akan kompak mengucapkan selamat datang pada kompor induksi sekitar 1.000 watt?
Soal itu hanya waktu yang bisa menjawab. Sementara ini kita bisa memprediksi apakah program di atas akan berhasil baik atau terhenti di tengah jalan dengan melihat sejauh mana perbedaan kedua jenis kompor itu.
Kekurangan