Misi balas dendam gagal. Liverpool kembali menelan pil pahit seperti pada Mei 2018 silam di NSC Olimpiysky Stadium di Kiev, Ukraina.
Bila saat itu Madrid menjadi juara Liga Champions Eropa berkat kemenangan 3-1, kali ini kemenangan tipis satu gol tanpa balas atas Liverpool lebih dari cukup mengantar mereka ke-14 kalinya angkat trofi "Si Kuping Lebar."
Saat itu, Karim Benzema membuka keunggulan di menit ke-51 usai memanfaatkan blunder Loris Karius, lalu disamakan Sadio Mane empat menit berselang, dan Gareth Bale memastikan kemenangan Madrid berkat "brace" di menit ke-63 dan 83.
Kali ini, Vinicius Junior adalah sang pembeda. Striker internasional Brasil berusia 21 tahun itu menjadi pencetak gol semata wayang untuk mengukuhkan dominasi Madrid di kompetisi elite tersebut dan menggagalkan skenario Liverpool meraih gelar ketiga musim ini, menyusul Carabao Cup atau Piala Liga Inggris dan Piala FA.
Apakah kemenangan Madrid di partai pamungkas ini karena peran Vini semata? Tentu tidak. Tanpa para pemain lain, Vini tentu tak bisa berbuat apa-apa.
Selain kontribusi Vini sebagai alasan pertama, ada tiga sebab lain yang membuat Madrid akhirnya berhak menjadi kampiun Eropa.
Pertama, para pemain Madrid mampu meredam agresivitas Liverpool dengan ketenangan dan kematangan. Statistik akhir mencatat, Liverpool mendominasi dengan 53 persen penguasaan bola, berbanding 46 milik Madrid.
Tidak hanya unggul "ball possession", The Reds juga memiliki peluang lebih banyak. Si Merah melepaskan sembilan tendangan tepat sasaran dari 15 kali percobaan.
Mohamed Salah yang begitu termotivasi untuk menebus air mata yang tercurah empat tahun silam, bertubi-tubi mengancam Madrid.
Sementara Madrid hanya memiliki dua tembakan "on target" dan dua lainnya melenceng dari sasaran. Keunggulan statistik ternyata tak menjamin hasil akhir.