Suka atau tidak suka, baik atau buruk, atasan adalah panutan di tempat kerja. Dialah yang menjadi cermin tempat para bawahannya berkaca.
Ia adalah referensi dan refleksi dari kecepatan bekerja dan mengeksekusi pekerjaan, kesigapan mengambil keputusan, hingga bagaimana membangun dan melibatkan diri dalam kultur pekerjaan.
Tidak semua atasan meninggalkan kesan baik di mata para bawahannya. Tidak semua atasan bisa terlihat menyenangkan di hadapan segenap karyawan. Alasannya bisa macam-macam, sebabnya pun beragam. Baik datang dari atasan bersangkutan, maupun dari pihak bawahan.
Terlepas dari soal yang satu ini, citra atasan sebagai mercusuar di tempat kerja, kadang kala membuat karyawan merasa dilema. Bila atasan gila kerja, maka sang karyawan yang tak bisa berdaptasi akan kewalahan.
Apakah sang karyawan harus meniru gaya serupa? Atau ia akan memilih untuk bertahan dengan gayangnya sehingga akan terlihat seperti pemalas?
Apakah seorang karyawan harus mencocokan jam kerjanya agar selaras dengan atasan? Atau perlukah ia mulai bekerja lebih awal dan berakhir lebih larut agar tak membangun kesan buruk di mata sang atasan?
Lebih dari itu, bila atasannya adalah sosok "workaholic", maka sudah sepatutnyakah ia diganggu kapan saja? Apakah menerima panggilan di luar jam kerja sebagai sesuatu yang wajar? Bekerja lembur adalah hal yang tak perlu dipertanyakan?
Saya banyak mendengar curhatan dari rekan-rekan yang bekerja di berbagai bidang pekerjaan tentang bagaimana iklim kerja mereka, terutama di masa pandemi ini.
Bekerja dari rumah (Work from Home) sebagai sistem kerja di masa "pageblug" ini justru membuat beban kerja mereka semakin bertambah.
Ada yang mengeluh kesulitan membagi waktu dengan urusan keluarga karena tugas menumpuk. Waktu yang seharusnya memberinya kelegaan untuk menarik nafas dan beristirahat justru digerus oleh pekerjaan kantor.