Menjadi atlet yang berbisnis atau pebisnis sekaligus atlet. Rangkap tugas, mengapa tidak? Greysia Polii adalah contoh terkini.
Greys memang masih tercatat sebagai pemain bulutangkis nasional. Usianya 34 tahun. Baru saja ia membuat bangga Indonesia. Bersama Apriyani Rahayu yang 10 tahun lebih muda, mereka meraih emas ganda putri Olimpiade Tokyo.
Kemenangan Greys dan Apri tentu disambut euforia di dalam negeri. Mereka banjir apresiasi dari mana-mana. Tidak hanya berupa kata-kata pujian. Tetapi juga mewujud rupiah, properti, gerai usaha, dan masih banyak lagi.
Pemerintah Indonesia menghadiahi keduanya Rp 5,5 miliar. Angka ini lebih besar dari yang dijanjikan sebelumnya. Lebih besar pula dari yang diterima olimpian Indonesia sepulang darii Rio de Janeiro, Brasil, lima tahun silam.
Itu baru dari pemerintah. Itu baru berupa uang.
Terlepas dari seberapa banyak dan seberapa besar yang mereka peroleh, Greys dan Apri tentu menyambutnya dengan rasa syukur. Prestasi mereka dihargai. Perjuangan keras mereka bertahun-tahun diapresiasi. Jatuh dan bangun berkali-kali akhirnya terbayar tuntas.
Greys dan Apri membuat atlet-atlet lain termotivasi. Mereka ingin merasakan manisnya medali emas Olimpiade. Mereka ingin merasakan menjadi buah bibir. Mereka ingin mencecap kenikmatan uang miliaran dan banjir hadiah.
Greys dan Apri sesungguhnya memberi tahu di balik senyum semringah dan tangis haru ada jalan panjang yang harus ditempuh. Yang terjadi belakangan ini adalah puncak dari gunung es perjuangan keras dan penuh pengorbanan.
Greys dan Apri seakan ingin mengatakan. Bila ingin dapat banyak hadiah, berprestasilah. Berjuanglah. Bertarunglah. Sekuat-kuatnya, sehormat-hormatnya seperti petuah Pramoedia Ananta Toer.