Turnamen bulu tangkis grade 2 level 4, Singapore Open tahun ini, tak ubahnya Kejuaraan Dunia bagi Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir. Mengapa? Turnamen bernama lengkap Singapore Open Super 500 itu adalah turnamen terakhir bagi pasangan ganda campuran ini sebelum terjun di Asian Games 2018.
Keduanya melewatkan turnamen yang lebih bergengsi, Kejuaraan Dunia di Nanjing Tiongkok, dua pekan mendatang, agar lebih fokus ke pesta olahraga antarbangsa Asia yang dimulai pada 18 Agustus hingga 2 September nanti. Keduanya rela kehilangan gelar juara dunia agar lebih siap tampil di Istora, Senayan.
PBSI tidak ingin stamina Butet, sapaan Liliyana, terkuras di Kejuaraan Dunia. Dengan usia yang telah melewati kepala tiga, rentang dua pekan terlalu singkat bagi wanita kelahiran Manado itu. Singapore Open pun menjadi ajang kompetitif terakhir sebelum tampil di dihadapan publik sendiri.
Meski tidak mendapat perlawanan sepadan, mengingat absennya musuh-musuh besar, Singapore Indoor Stadium lebih dari cukup menjadi medan pemantapan. Seminggu terakhir ini adalah momen terbaik untuk menjaga mood bertanding. Lebih dari itu, kesempatan terakhir untuk mengevaluasi diri di turnamen resmi.
Menghadapi para pemain dengan level di bawah mereka bisa memunculkan kejutan, sebagaimana biasa terjadi di setiap kompetisi. Kejutan demi kejutan itu menjadi masukan untuk segera berbenah dalam setiap kesempatan latihan sebelum hari H.
Hal tak terduga pun datang dan terjadi pada Owi/Butet di Minggu, 22 Juli 2018 petang. Menjadi unggulan pertama tidak menjamin bakal juara. Sebagai pasangan kawakan dengan jam terbang tinggi ini gagal mencapai klimaks. Keduanya gagal mengulangi pencapaian 2011, 2013 dan 2014 setelah dijegal Goh Soon Huat/Shevon Lai. Pasangan Malaysia yang menjadi unggulan kedua itu menang straight set 21-19 dan 21-18.
Kedua pasangan belum pernah bertemu sebelumnya. Namun jam terbang dan prestasi lebih dari cukup mengunggulkan Owi dan Butet. Owi dan Butet adalah pasangan nomor satu dunia. Pencapaian ini tak lepas dari sepak terjang mentereng sepanjang tahun ini. Keduanya empat kali menembus final dari enam turnamen yang diikuti dengan satu gelar juara. Tiga kali menjadi runner up, masing-masing di Indonesia Masters S500, Kejuaraan Asia (BAC) dan Singapore Open. Sepekan sebelumnya, Owi/Butet menaklukkan Istora di ajang prestisius, Indonesia Open S1000.
Final hari ini justru menjadi antiklimaks bagi Owi dan Butet. Keduanya menyerah dua game langsung dalam tempo 36 menit. Muncul pertanyaan. Mengapa bisa terjadi demikian? Secara keseluruhan pertandingan berjalan relatif imbang. Goh Soon Huat/Shevon Lai kembali memainkan pola dan mempertahankan semangat seperti saat memetik kemenangan keempat dari lima pertemuan dengan pasangan Thailand, Dechapol Puavaranukroh dan Sapsiree Taerattanachai, 21-18, 21-14 di semifinal.
Begitu juga pasangan Indonesia. Bedanya, Owi dan Butet kerap melakukan kesalahan sendiri. Beberapa kali Owi memberikan poin secara cuma-cuma kepada lawan. "Error" yang adalah karib setiap pemain, justru lebih banyak mendekati Owi hari ini. Kesalahan sendiri adalah salah satu musuh terberat yang selama ini dihadapi pasangan ini.
Owi memiliki kualitas mumpuni. Smes dan kemampuan penguasaan lapangan tak perlu diragukan. Namun bila tidak sedang dalam performa terbaik, penampilannya bisa sangat menyesakkan. Itulah yang terjadi pada Owi hari ini.
Selain kesalahan sendiri, di sisi lain penampilan pasangan Malaysia patut diapresiasi. Pasangan rangking delapan dunia bermain apik. Secara khusus, Shevon Lai yang mampu mengimbangi Butet di lini depan. Pemain 24 tahun itu memiliki netting silang yang menyulitkan dan penempatan bola yang bagus.