Lihat ke Halaman Asli

charles dm

TERVERIFIKASI

charlesemanueldm@gmail.com

Butet Bukan Robot

Diperbarui: 11 April 2017   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Liliyana Natsir/Kompas.com

Perasaan campur aduk menyertai kekalahan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir alias Owi/Butet di semi final Super Series Premier Malaysia Open yang baru saja berakhir di Kuching, Sarawak, Malaysia, Minggu (9/4) lalu. Di satu sisi ada kecewa karena peraih emas Olimpiade Rio 2016 itu gagal mempertahankan gelar. Tetapi di sisi lain ada rasa iba dan solider.

Kecewa karena kegagalan Owi/Butet wajar. Tetapi ada hal yang perlu dipahami. Lu Kai/Huang Yaqiong sedang berada dalam puncak performa. Dalam sebulan terakhir keduanya sukses menggondol dua gelar, All England dan India Open.

Hal lain yang membuat kekalahan 8-21, 16-21 tidak perlu terlalu ditangisi adalah lawan lebih bersemangat dari segi usia. Butet, 31 tahun, lebih kakak delapan tahun dari Huang Yaqiong. Sementara Owi empat tahun lebih tua dari Lu Kai, 25 tahun. Secara akumulatif usia wakil China itu lebih ideal untuk terjun dalam kompetisi sengit, bertensi tinggi, dan menuntut stamina prima.

Di babak sebelumnya Owi/Butet harus mengeluarkan banyak energi untuk pertandingan selama 82 menit. Kemenangan atas Choi Solgyu/Chae Yoo Jung 16-21, 23-21, 22-20 itu berakhir larut malam. Coba pertimbangkan waktu yang tersisa untuk mengurus keperluan pribadi setelah itu: makan, mandi dan, terutama, istirahat.

Sementara hari besok sudah memanggil dengan jadwal pertandingan awal. Tak pelak saat perebutan tiket final itu Owi/Butet seperti telah kehabisan amunisi. Klimaks sudah terjadi dini sehingga pertandingan berdurasi 37 menit itu kebagian sisa-sisa tenaga. Belum cukup waktu untuk recoverysehingga yang terjadi adalah underperformed.

Pengakuan Butet kepada badmintonindonesia.org usai kekalahan itu cukup untuk menjelaskan duduk perkarai.  “Dari segi tenaga, pertandingan di perempat final sangat menguras energi, kami berharap dapat recovery dan istirahat lebih lama, tetapi kami kaget saat melihat jadwal pertandingan. Semalam kami sampai hotel jam 12 malam, dan hari ini dari pagi sudah harus bersiap tanding lagi.”

Seharusnya tidak

Seharusnya situasi tidak akan segalau itu bila kita memiliki banyak pilihan. Di nomor ganda campuran misalnya, Owi/Butet masih saja menjadi andalan. Keduanya tak putus diberikan tanggung jawab. Dengan segala prestasi dan hampir semua gelar sudah dikoleksi seharusnya mereka bisa lebih santai memilih turnamen dan tidak terlalu dituntut dengan target tinggi.

Namun para pelapis mereka tak cukup meyakinkan untuk digantung harapan. Praveen Jordan/Debby Susanto terus dirundung malang sejak menjuarai All England 2016. Performa keduanya seperti rangking dunia yang terus menurun. Para pemain pelapis lainnya masih berjuang setidaknya membuktikan diri menjadi juara di level grand prix/gold. Selain Owi/Butet dan Praveen/Debby, belum ada pasangan ganda campuran yang berprestasi.

Sejak awal tahun staf pelatih ganda campuran melakukan sejumlah ekperimen. Owi/Butet diceraikan sementara. Bila tidak ingin disebut kebetulan bertepatan dengan cederanya Butet. Owi sempat dipasangkan dengan beberapa pemain muda.

Hemat saya langkah ini tepat. Para pemain yang sudah berpengalaman dan kaya prestasi pada titik tertentu harus berani dipisah. Tujuannya agar mereka bisa memacu para pemain muda, mendorong mereka untuk lekas berprestasi. Langkah berani itu memang harus diambil seandainya belum ada pemain pelapis yang mencolok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline