Berdasarkan domisili saya adalah bagian dari wilayah Tangerang Selatan. Sempat saya bertanya diri, apa keistimewaan wilayah seluas kurang lebih 147.19 km2ini? Dengan kata lain, adakah sesuatu yang dibanggakan selain menjadi wilayah satelit dari Jakarta, kota terbesar kedua di Provinsi Banten dan terbesar kelima di Jabodetabek?
Kebanggaan itu memang relatif. Yang saya maksudkan di sini adalah sesuatu yang menjadi kekhasan yang tidak ditemukan di tempat lain. Di satu sisi memang terdengar ironis bila saya sendiri tak bisa mendapatkan sesuatu yang membuat saya merasa bangga dengan kota tempat saya melabuhkan hidup. Bisa saja ini menjadi kesalahan saya yang tidak mau mencari tahu atau sengaja tak mau tahu. Betapa terkutuknya saya sebagai seorang warga!
Tetapi bisa jadi karena memang tidak ada sesuatu yang patut dibanggakan. Apakah jawaban yang sama akan diperoleh dari warga Tangsel atau penduduk dari daerah lain?
Dalam hal ini saya berutang budi pada Kompasianer Tangsel Plus (Ketapels), komunitas yang sejatinya menangkup saya, tetapi baru beberapa bulan terakhir mencatatkan saya sebagai salah satu anggotanya. Talkshow bertajuk “Saatnya Batik Etnik Tangsel Memegang Kendali Menuju Go Internasional” pada Sabtu, 25 Maret lalu adalah acara Ketapels perdana yang saya ikuti. Tetapi acara sejak pagi hingga lewat tengah hari itu membuka wawasan dan memantik kesadaran saya sebagai warga Tangsel.
Betapa tidak, acara yang disponsori Danamon dan Kompasiana itu membelalakkan mata akan kekayaan Tangsel yang selama ini luput dari perhatian saya. Dalam diamnya, untuk mengatakan jauh dari hingar bingar pemberitaan yang sampai ke telinga saya, Dra Nelty Fariza Kusmilianti telah menggaungkan Tangsel ke mana-mana. Bahkan hingga jauh ke mancanegara sejak 2004 silam.
Bukti kerja Bu Nelty, demikian disapa, tidak banyak terlihat di gerai usahanya di bilangan Pondok Aren, Tangerang Selatan. Galeri sekaligus brand, Sekar Purnama, itu belum lama ditempati dan sedang dalam proses penataan untuk menggantikan tempat sebelumnya.
Selain ruang depan yang dipakai untuk acara separuh hari itu, di bagian tengah terdapat ruang lapang yang menganga hingga ke bagian belakang. Di sana dengan sengaja dipajang sejumlah kain batik aneka warna dan motif. Ada gambar bunga-bungaan, baik kembang maupun sulur-sulurnya. Ada pula empat buah pisau yang berpasangan ditempatkan menyilang. Tak lupa pada lembar lainnya ada rupa badak dan kacang-kacangan.
Di bagian belakang dan teras depan beberapa kompor kecil diletakkan secara acak. Kuali mungil bertakhta di atasnya. Canting (alat melukis) menumpuk di sejumlah sudut.
Baru kemudian dalam paparannya Bu Nelty perlahan-lahan menyingkap segala “misteri” itu mulai dari kain hingga perkakas membatik itu. Oh ya, kami pun bisa ikut ambil bagian membatik. Tentu dengan hasil yang jauh dari layak, tetapi lebih dari cukup sebagai cinderamata kerja pembatik amatiran.
Kekayaan Tangsel
Lembaran-lembaran kain batik itu sebenarnya berbicara banyak hal tentang Tangsel. Ruang hidup yang secara administratif dikitari Kota Tangerang di sisi utara, Kabupaten Bogor di selatan, Kabupateng Tangerang di barat dan Jakarta di sisi timur, menyimpan banyak kisah.