Di kalangan masyarakat Indonesia, ping pong atau tenis meja tidak lagi asing. Malah sangat familiar. Di rumah, di kantor, di tempat kerja, atau di area lapang kerap kita jumpai meja berukuran 2,74 m x 1,52 meter dengan tinggi sekitar 76 cm.
Dengan dua raket yang terbuat dari papan kayu berlapis karet atau biasa disebut betsiapa saja sudah bisa memainkannya. Meski kadang sulit mengendalikan bola plastik berwarna putih atau kuning serupa pentolan bakso, namun dengan sedikit kesabaran laju dan lentingannya sedikit demi sedikit bisa dikendalikan.
Seperti permainan bulu tangkis atau badminton yang sangat digemari masyarakat kita, keterlibatan pemain dalam olahraga ini sangat terbatas, dua orang untuk permainan tunggal atau single dan empat orang dalam permainan ganda atau double. Walau demikian tak mengurangi antusiasme dan membatasi semangat orang untuk ambil bagian baik sebagai pemain maupun penonton.
Malah bisa jadi karena keterbatasan pelaku membuat olahraga seperti itu menghadirkani tantangan tersendiri. Di lingkungan kerja saya, seusai jam kantor, orang-orang akan berebut tempat di arena ping pong. Bila tak kebagian kesempatan, mereka akan dengan sabar menanti giliran. Seperti empat orang yang sedang bermain, para penonton pun tak kalah tegang. Entah karena laga berjalan alot, atau karena perasaan tak tenang menanti giliran.
Yang mengantri atau berebut tempat itu tidak hanya mereka yang sudah bisa bermain. Kelompok yang baru belajar pun turut meramaikan suasana dan membuat tensi persaingan mendapat tempat saban petang menjadi tinggi. Di situlah letak euforia dan keramaian olahraga tersebut. Meski para pelakunya terbatas, tak sebanyak permainan volley, bola basket, atau sepak bola, daya tarik ping pong tetap tinggi.
Pengalaman ini tentu tak bisa dijadikan ukuran untuk menilai antusiasme olahraga tersebut secara luas. Namun cabang olahraga ini sudah lama masuk ke tanah air, sejak sekitar tahun 1930 bersama ekspansi kolonialisme Belanda, sehingga bisa dibilang bukan sesuatu yang baru apalagi asing di tanah air ini.
Konon olahraga ini sudah dikenal sejak abad ke-19 di kalangan elit di Inggris. Mereka biasa memainkannya seusai makan malam dalam ruangan. Penyebutan untuk olahraga tersebut pun beragam. Ada yang menyebut gossima, whiff whoff, ping pong dan sekarang tenis meja. Seperti nama yang beragam, sejak awal perlatan yang digunakan pun bervariasi. Ada yang menggunakan buku bersusun sebagai net sekaligus raket atau pemukul bola.
Saat masih duduk di bangku SMP, karena kendala sarana, kami terkadang menggunakan papan tripleks sebagai raket dan buku atau sandal sebagai net. Hingga akhirnya kita mengenal olahraga tersebut dengan peralatan mutakhir seperti saat ini.
Dalam rentang sejarah hidupnya yang panjang, perkembangannya pun semakin mendunia. Tenis meja pun dipertandingkan secara resmi baik di tingkat nasional maupun internasional. Secara kelembagaan, berdirinya Federasi Tenis Meja Internasional (ITTF) pada 1926, atau lima tahun setelah Asosiasi Tenis Meja pertama berdiri di Inggris, menandakan internasionalitas sekaligus formalitas (pelembagaan) olahraga tersebut. Kini tak kurang dari 222 negara di dunia tergabung dalam ITTF, termasuk Indonesia.
Cabang olahraga yang satu ini pun dipertandingkan secara luas baik dalam tajuk khusus melalaui aneka kejuaraan, juga masuk sebagai salah satu cabang olahraga di ajang pesta olahraga multievent mulai dari tingkat lokal, regional hingga dunia.
Sekitar sembilan tahun setelah masuk Indonesia, tepatnya tahun 1939, berdiri Persatuan Ping Pong Seluruh Indonesia yang disingkat PPPSI. Berdirinya organisasi tersebut sebelum Perang Dunia II meletus. Mula-mula olahraga tersebut dikenal secara terbatas, terutama di kalangan orang-orang Belanda. Bahkan terkesan elitis, karena tidak semua kalangan pribumi diperkenanka ambil bagian. Hanya mereka dari kalangan pamong atau bangsawan yang boleh terlibat.