Usai sudah olimpiade bagi kaum difabel, Paralimpiade Rio de Janeiro 2016. Pesta bagi 4.342 olahragawan yang mengalami keterbatasan fisik itu telah dimulai sejak 7 September dan berakhir di tempat yang sama, di Stadion Maracana, pada 18 September kemarin.
Keperkasaan Tiongkok tidak hanya di ajang multievent bagi kaum normal yang lebih dulu berakhir di tempat yang sama. Bila di Olimpiade kali ini Tiongkok berada di urutan kedua di belakang Amerika Serikat, di Paralimpiade, Negerti Tirai Bambu menjadi pengumpul medali emas terbanyak. Total 239 medali masing-masing 107 medali emas, 81 medali perak dan 51 medali perungguh mereka kantongi.
Tiongkok unggul dengan selisih medali yang cukup signifikan dari Inggris Raya dengan 64 medali emas, 39 perak dan 44 perunggu, serta Ukraina di tempat ketiga dengan 41 emas, 37 perak dan 39 perunggu. Menyusul Amerika Serikat di posisi keempat dengan 40 emas, 44 perak dan 31 perunggu.
Indonesia pulang dengan satu medali perunggu yang disumbangkan Ni Nengah Widiasih dari cabang angkat berat (lebih jauh bisa baca tulisan saya sebelumnya di sini). Pencapaian kontingen Merah Putih kali ini tak berbeda dengan ajang yang sama empat tahun lalu di London. Bedanya, saat itu perunggu disumbangkan petenis meja David Jacob.
Sayang di ajang kali ini David gagal menyumbang medali. Pria kelahiran Ujung Pandang, Makassar, 39 tahun silam kandas di babak 16 besar. Tergabung di grup B, David berhasil meraih kemenangan di pertandingan pertama babak penyisihan. Ia mengalahkan pemain rangking 11 dunia asal Belanda, Hegelink Bas.
Namun langkah positif tersebut gagal berlanjut. Di laga terakhir pria kelahiran 21 Juli itu takluk dari wakil Inggris Raya, Daybell Kim. Pertandingan berdurasi 52 menit itu dimenangkan sang lawan berperingkat sembilan dunia dengan skor 2-3 (7-11, 11-9, 12-14, 11-5, 12-14).
Lolos sebagai runner up grup B, David kembali gagal di laga hidup mati. Menempati peringkat dua dunia di kelas TT 10, David ditantang Mateo Boheas dari Prancis. Sempat tertinggal di dua set pertama, David berhasil mengamankan dua set berikutnya untuk menyamakan kedudukan. Sayang di set penentuan, Ia gagal menjaga tren positif itu dan kalah dengan skor 11-13, 9-11,11-7, 12-10 dan 5-11.
Meski harus puas dengan satu medali dan menempati urutan buncit bersama Cape Verde, Arab Saudi, Mozambik, Pakistan, Filipina, Rumania, dan Sri Lanka di urutan 76, Indonesia mencatatkan kemajuan.
Di ajang serupa edisi sebelumnya, Indonesia hanya mampu mengirim empat atlet. Sementara wakil di Paralimpik kali ini naik lebih dari 100 persen yakni sembilan atlet. Selain Ni Nengah dan David Jacob, ada Marianus Melianus Yonci, Agus Ngaimin, Jendi Panggabean, dan Syuci Indriyani (renang), Siti Mahmudah (angkat berat), serta Setiyo Budi dan Abdul Halim Dali Munte (lari tunanetra 100 dan 200meter).
Hal tersebut memberi kesan bahwa atlet difabel tanah air mampu bersaing dengan atlet-atlet lain dari mancanegara. Meski belum mampu berbicara banyak alias meraih banyak medali, setidaknya, keikutsertaan lebih banyak atlet difabel kita menunjukkan bahwa ruang apresiasi, partisipasi dan perhatian kepada mereka yang berkekurangan semakin terbuka lebar. Tak dapat dipungkiri prasangka dan dikotomi bipolar masih menghinggapi ruang kesadaran dan mengendalikan pola pikir kita dalam memandang sesama terutama mereka yang berkekurangan.
Harapan kita di tahun-tahun mendatang semakin banyak atlet difabel yang mendapat kesempatan mengaktualisasi bakat dan potensi serta mendapat kans untuk berprestasi seperti atlet-atlet normal lainnya. Meski persoalan yang dihadapi atlet-atlet normal tanah air tak kalah ruwet, setidaknya perubahan cara pandang sudah lebih dari cukup untuk menata dunia olahraga kita secara adil dan beradab.
Inspirasi