Lihat ke Halaman Asli

charles dm

TERVERIFIKASI

charlesemanueldm@gmail.com

Iuran BPJS Kesehatan Antara “Gabe” dan “Aufgabe”

Diperbarui: 20 September 2016   00:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.bpjs-kesehatan.go.id

Dua tahun sudah, sejak mengganti layana Asuransi Kesehatan (Askes) pada 1 Januari 2014, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berjalan. Sebagai salah satu program dari dan dikendalikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), JKN merentangkan tangan selebar-lebarnya bagi segenap masyarakat Indonesia untuk mendapatkan layanan kesehatan.

JKN hadir sebagai implementasi perintah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 ayat 3 tentang hak atas jaminan sosial, yang diterjemahkan dalam sistem jaminan sosial sesuai  amanat pasal 34 ayat 2. Dengan dasar konstitusional tersebut tak ada alasan bagi negara untuk tidak memenuhi hak warga negara apapun latar belakangnya.

Selama dua tahun BPJS telah berusaha menjalankan misi konstitusional tersebut. Data resmi di laman BPJS menyebut peserta program JKN per 9 September 2016 sudah mencapai 167,8 juta jiwa. Hingga akhir tahun ini ditargetkan jumlah tersebut meningkat menjadi 188 juta dan tiga tahun ke depan menginjak angka sempurna, 100 persen. Artinya, tahun 2019 tak satu pun warga Indonesia tak terlayani program ini.

Menariknya, dari jumlah yang ada, meski baru lebih separuh dari total penduduk Indonesia, berasal dari kelompok miskin. Tak kurang dari 60 persen kelompok miskin ini terjaring dalam program JKN dengan tanpa mengeluarkan sepeserpun. Kepada mereka, sesuai dengan amanat konstitusi, negara wajib menunjukkan tanggung jawabnya dengan menanggung iuran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Secara teknis,kelompok masyarakat tersebut masuk kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Sementara itu kelompok masyarakat lainnya, atau yang tidak terkategori PBI, menunjukkan tanggung jawabnya terhadap program ini dengan ikut berpartisipasi membayar iuran. Itu pun dengan aneka skema pembayaran dengan besaran berbeda-beda tergantung manfaat yang dikehendaki (Rp 25.500 per orang per bulan untuk mendapatkan manfaat ruang perawatan Kelas III, selanjutnya Rp 51.000 untuk Kelas II dan Rp 80.00 untuk kelas I).

Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di Lembaga Pemerintah (PNS, anggota TNI/Polri, pejabat negara dan pegawai pemerintah non pegawai negeri) sebesar 5 % dari gaji per bulan dengan ketentuan 3 % dibayar oleh pemberi kerja dan 2% dibayar peserta.

Besaran iuran yang sama berlaku pula untuk peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN, BUMD dan Swasta. Bedanya 4% dari iuran tersebut dibayar oleh Pemberi Kerja sementara sisanya oleh peserta.

Iuran untuk keluarga tambahan Pekerja Penerima Upah yang terdiri dari aak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua, iuran yang dipatok sebesar 1 persen dari gaji atau upah per orag per bulan yang dibayar oleh pekerja penerima upah.

Tanggungan untuk kerabat lain dari Pekerja Penerima Upah (saudara kandung/ipar, asisten rumah tangga, dll), peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja seperti disebutkan di atas (Rp25.500 per orang per bulan untuk Kelas III, Rp 51.000 untuk kelas II dan Rp 80.000 untuk kelas I).

Para veteran, perintis kemerdekaan, janda, duda dan anak yatim pun tak ketinggalan. Namun iuran yang dibebankan sebesar 5 % dari 45 % gaji pokok PNS golongan ruang III/a dengan masa kerja 14 tahun dan dibayar oleh Pemerintah.

Sistem tersebut jelas menunjukkan tanggung jawab negara dengan tanpa mengabaikan prinsip keadilan. Selama masyarakat tersebut mampu-artinya berpenghasilan cukup- mengapa tidak turut membantu. Di sini berlaku prinsip gotong royong. Yang mampu menolong yang kurang atau tidak mampu melalui iuran yang dibayar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline