Hasil negatif dalam tiga laga terakhir memunculkan seribu satu tanda tanya terhadap skuad Manchester United saat ini. Betapa tidak, sejak mengalami keterpurukan dalam beberapa musim terakhir, Manchester Merah telah melakukan sejumlah perubahan mendasar. Pelatih kawakan Jose Mourinho diboyong ke Old Trafford. Menyusul sejumlah bintang seperti Zlatan Ibrahimovic , Eric Baill, Henrikh Mkhitaryan hingga merogoh kocek dalam-dalam memulangkan Paul Pogba dari Juventus.
Apa daya, kehadiran mereka belum juga berbuah manis. Berawal dari kekalahan di derby Manchester dengan skor 1-2, selanjutnya takluk di kandang Feyenoord di pentas Liga Europa, dan terkini menyerah 1-3 di kandang Watford.
Kekalahan atas Watford pada Minggu (18/9) malam kemarin sungguh di luar dugaan. Selain berstatus tim promosi, dan nota bene tak memiliki sumber daya setara, hasil tersebut sekaligus meruntuhkan rekor positif United atas Watford dalam tiga dekade terakhir. Vicarage Road, markas Watford, akhirnya menjadi kuburan baru bagi United yang tak pernah kehilangan muka selama 30 tahun terakhir.
Rententan kekalahan itu pun semakin memperjelas krisis di tubuh Setan Merah. Setidaknya pertandingan menghadapi Watford menjadi cermin seperti apa wajah baru yang sedang dilukis The Special One. Apakah ada yang salah dalam polesan Mourinho? Atau ada yang tak beres dengan Mourinho mengingat tiga kekalahan beruntun ini adalah yang pertama dalam satu dekade karir kepelatihannya?
Statistik menunjukkan United mendominasi pertandingan dengan penguasaan bola 60 persen. Namun United hanya mampu mencetak sebiji gol melalui Marcus Rashford di babak kedua. Itu pun gol penyeimbang setelah Etienne Capoue mengoyak gawang David De Gea di babak pertama. Tak sampai di situ. Camilo Zuniga dan Troy Deeney kembali memaksa kiper timnas Spanyol itu memungut bola dari dalam gawangnya. Dua gol dalam 10 menit itu adalah drama indah bagi The Hornets dan tragedi bagi Iblis Merah.
Minimnya gol setidaknya dipicu oleh kekacauan penampilan para pemain United. Eks pemain internasional Inggris, Steve McManaman dan legenda Setan Merah, Paul Scholes sepakat dengan hal itu.
Kacau. Mereka terlihat kehilangan posisi dan ketiadaan tujuan. Koordinasi dan penempatan diri para pemain tak berjalan organik. Menurut McManaman pemandangan ini mirip seperti era kepelatihan Lous Van Gaal sebelumnya.
United jelas tak memanfaatkan lebar lapangan. Marcus Rashford, Anthony Martial dan Ashley Young yang menggantikan Martial setelah 38 menit, berkumpul di dalam lapangan. Kita tak bisa serta merat menyayangkan situasi tersebut. Bisa saja mereka kompak menyerang dari tengah lapangan. Namun situasi ini terlihat kontraproduktif melihat skema permainan yang diperagakan anak asuh Walter Mazzarri.
Saat menguasai bola tuan rumah menggunakan pola 4-4-2. Sementara ketika mereka kehilangan bola alias sedang ditekan, formasi itu berubah. Lima pemain terkonsentrasi di lini tengah untuk menyumbat serangan United. Pola yang dinamis, dari 4-4-2 menjadi 4-5-1 ini efektif meredam serangan tim tamu.
Dalam situasi tersebut terlihat jelas seperti apa kreativitas para pemain United. Keterpaksaam melancarkan tembakan langsung dari jarak tak ideal kerap menjadi pilihan instan. Antara taktik dan frustasi menjadi kabur.
Padahal saat Watford menumpuk pemain di lini tengah, United semestinya bisa memanfaatkan lebar lapangan. Saat Odion Ighalo merapat ke lini kedu, Antonio Valencia memiliki banyak ruang. Namun Valencia tak mempunyai rekan di depannya karena Rashford sudah berada terlalu dalam. Ruang kreasi Roony maupun Pogba pun semakin sempit. Para pemain United telah masuk dalam jebakan Watford.