[caption caption="Ratchanok Intanon juara Singapura Open 2016 (gambar @BadmintonUpdates)"][/caption]Indonesia terus melanjutkan trend positif di turnamen super series tahun ini. Kemenangan tunggal putra kawakan Sony Dwi Kuncoro dan pasangan ganda putri Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari di Singapura Open Super Series yang baru saja berakhir, Minggu (17/4), membuat Merah Putih tak pernah kehilangan podium sejak All England Open Super Series Premier, India Open Super Series, dan Malaysia Open Super Series Premier.
Seperti Tiongkok, Indonesia selalu membawa pulang gelar juara. Namun, tingkat produktivitas Indonesia sedikit lebih baik dari Negeri Tirai Bambu itu. Sepanjang tahun ini Indonesia sudah menggondol lima gelar dalam empat turnamen super series itu, atau satu trofi lebih banyak dari Tiongkok.
[caption caption="Daftar negara peraih gelar super series tahun 2016 (gambar @Badmintonupdates)"]
[/caption]Dari sisi ini, apa yang dikatakan Ketua Umum PBSI, Gita Wirjawan benar adanya. Merah Putih dinilai konsisten di ajang bergengsi.
“Selamat atas dua gelar yang berhasil dibukukan Greysia/Nitya dan Sony pada ajang Singapore Open Super Series 2016. Kemenangan ini membuktikan bahwa penampilan tim Indonesia cukup konsisten di ajang bergengsi super series..”demikian ungkap Gita Wirjawan dikutip dari situs resmi PBSI.
Namun, konsistensi yang dimaksudkan Gita lebih pada gelar juara yang diraih. Pernyataan Gita di satu sisi menghibur kita. Bila ditelisik lebih jauh, sebenarnya tersembunyi ‘noda’ hitam di balik konsistensi itu. Tengok saja dari lima gelar yang diraih tak satu pun disumbangkan sektor tunggal putri. Di All England, gelar juara dipersembahkan oleh Praveen Jordan/Debby Susanto. Berlanjut ke India Open melalui ganda putra Kevin Sanjaya Sukamuljo/Gireo Markus Fernaldi, selanjutnya Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir di Malaysia. Dan terkini, Greysia/Nitya di sektor ganda putri serta Sony Dwi Kuncoro di tunggal putra.
Jelas terlihat, tunggal putri hanya menjadi penonton. Bahkan penggembira di ajang-ajang bergengsi tersebut. Bila harus jujur sektor ini sangat mengalami kemunduran. Tak ada lagi musim semi tunggal putri seperti era Susi Susanti atau Mia Audina. Yang ada kini adalah musim gugur.
Sejak Bellaetrix Manuputty tak putus dirundung cedera, praktis Indonesia bertumpu pada dua tunggal dengan rangking dunia terbaik. Lindaweni Fanetri dan Maria Febe Kusumastuti. Namun ketergantungan pada pebulutangkis rangking 23 dan 22 dunia itu bertepuk sebelah tangan. Sepanjang tahun ini, alih-alih berbicara banyak, kiprah keduanya hanya berakhir di babak-babak awal.
Di Singapura Open kali ini Lindaweni dijungkalkan unggulan pertama, Carolina Marin. Linda sama sekali tak bisa bersaing dengan jagoan Spanyol yang pernah menimba ilmu di pelatnas Cipayung. Sementara Maria Febe dibekuk tunggal Jepang rangking 11 dunia, Akane Yamaguchi.
Dua pemain muda, Lyanny Alessandra Mainaky dan Yulia Yosephin masih terlalu ‘hijau’ untuk bersaing di level super series.
Pertanyaan penting menyeruak, mengapa sektor ini sedemikian tertinggal? ‘Curhat’ pelatih kepala tunggal putri Edwin Irianto usai kualifikasi Piala Uber di India awal tahum ini mengedepankan banyak soal. Mulai dari jumlah ‘panggilan’ alias bibit hingga persoalan mental pemain.
Namun hemat saya soal jumlah bibit yang tak sebanyak sektor lain masih bisa dibantah dengan mengambil contoh Carolina Marin dan Ratchanok Intanon. Dua pemain tersebut kini bersaing di papan atas rangking dunia. Mereka berasal dari negara yang tak memiliki tradisi yang kuat di cabang olahraga tepok bulu ini.