[caption caption="Pep Guardiola dan Lionel Messi (gambar BBC.com)"][/caption]Teka-teki pelabuhan baru Josep 'Pep' Guardiola Sala terjawab sudah. Sempat sedikit tersingkap sejak Desember silam saat memutuskan tak lagi bersama raksasa Bundesliga, Bayern Muenchen di musim panas ini, akhirnya Pep menjadi milik Manchester City sejak Juni 2016. Pria 45 tahun itu akan menahkodai bahtera klub kaya raya itu hingga tiga tahun ke depan, mengambil tempat yang sebelumnya diduduki Manuel Pellegrini.
Kehadiran Pep di klub sekelas City bukan sesuatu yang menghebohkan. Dengan kekuatan finansial yang luar biasa, di bawah kepemilikan Mansour bin Zayed bin Sultan bin Zayed bin Khalifa Al Nahyan segala sesuatu bisa saja terjadi. Termasuk mendatangkan Guardiola yang siap digaji 15 juta poundsterling (Rp292 miliar) per musim dan membekalinya dengan dana tak kurang dari Rp3 triliun di masa awal.
Bagi sang taipan yang merupakan politisi dan orang dekat petinggi Uni Emirat Arab itu, pembelian Guardiola merupakan mimpi yang menjadi kenyataan setelah sebelumnya gagal mendatangkannya pada tahun 2012. Saat itu Guardiola lebih memilih Jerman ketimbang berpetualang di Inggris bersama klub yang baru mulai menata diri.
Namun gelontoran dana tak kurang dari 15 triliun dalam tujuh musim terakhir, setidaknya sejak mengambil alih kepemilikan Manchester Biru dari pengusaha Thailand, Thaksin Shinawatra pada September 2008, perlahan tapi pasti City berubah drastis menjadi raksasa, setidaknya di level domestik. Mungkin melihat keseriusan sang pemilik dan perubahan signifikan itu Guardiola akhirnya tertantang untuk mencoba peruntungan di Inggris.
Selain godaan uang yang berlimpah, tentu ada maksud lain yang lebih besar di balik keputusan Pep itu. Suami si cantik Cristina tentu tak ingin menggadaikan nama besar dan predikat pelatih terpuji untuk sebuah klub yang dibangun di atas landasan sumber daya pemain yang rapuh, dengan sejarah dan riwayat prestasi yang biasa-biasa saja.
Pola pikir
Lantas apa yang membuat Guardiola tergiur berpetualang di Inggris? Mungkin jawaban apriori bisa ditilik pada kata-kata sang ayah, Valenti kepada wartawan BBC Sport David Ornstein dan Patrick Nathanson yang mengunjungi rumah keluarga di Santpedor, satu jam perjalanan dari Barcelona.
“He will look to carry on the football of his Barcelona and Bayern teams,”ungkap Valenti.
Dalam penglihatan sang ayah, dan saya kira kita pun mengamininya, Pep sangat memegang teguh gaya sepakbola indah. Tak hanya mementingkan hasil akhir tetapi juga proses. Dengan seni yang menghibur, sepakbola bukan sola gol dan kemenangan semata. Dengan kata lain, bermain tidak hanya untuk menang, tetapi juga memberikan kebahagiaan bagi penonton.
“He has attitude to football [as an art form]. Not just to win, but to win in a distinctive way that entertains the public,” lanjut pria 80 tahun itu.
Setidaknya hal itu kita lihat selama tujuh tahun masa kepelatihannya dengan ganjaran deretan prestasi mentereng. Sempat diragukan di awal karir, Guardiola langsung tancap gas setelah naik level dari pelatih Barcelona B pada tahun 2008. Bersama tim utama Blaugrana, Pep membuktikan dirinya bisa sukses sebagai pemain dan pelatih.