***
"Maaf Raisya. Aku ga bisa traktir kamu, uangku hanya cukup untukku sekali makan." Jawabku jujur.
"Kamu kok gitu sih? Aku laper banget loh. Kamu kan anak orang kaya, ya tinggal minta uang lagi lah." Wajahnya kesal mendengar jawaban dariku. Tapi mau bagaimana lagi, uang itu hanya cukup untukku makan sekali.
"Raisya, kamu tau ga? Aku selalu minta uang tambahan sama orang tuaku gara-gara kamu. Aku ga enak tau sya, ga enak sama orang tuaku." Aku mencengkram tangannya lebih kuat. Cukup sudah, aku tak tahan lagi.
"Tapi kan kamu anak orang kaya. Pelit banget sih. Cuma traktir temennya doang kok. Terakhir ini, besok besok aku ga bakal minta lagi." Jawabnya ketus.
"Kamu selalu bilang gitu Raisya, tapi kenyataannya? Dulu kamu pernah bilang "ini terakhir deh traktirannya. Nanti aku ganti kok." Tapi sampai sekarang ga pernah kamu ganti, yang ada kamu malah minta ditraktir terus. Dulu aku emang ga berani, karena hanya kamu temanku satu-satunya. Tapi sekarang? Aku sudah muak dengan tingkah lakumu Raisya. Memang benar kamu adalah anak kesayangan guru, semua orang ingin berteman denganmu. Tapi mereka takkan tau bahwa sebenarnya kamu adalah anak yang seperti ini. Aku menyesal mempunyai teman sepertimu."
Raisya melepaskan peganganku dengan kasar. Ia marah, tak terima aku sebut seperti itu. "Kalau begitu, SEHARUSNYA PADA SAAT ITU AKU TIDAK USAH MEMBANTUMU!" Teriakan Raisya menarik perhatian orang-orang disekitar kami, "aku ini adalah berlian mahal, ga layak dibandingkan dengan kamu yang cuma seorang permata yang rusak! Memang sedari awal aku tidak ingin berteman dengamu, aku hanya ingin memerasmu saja, dasar manusia rendahan!"
Teriakannya mengundang semakin banyak perhatian. Raisya yang langsung tersadar lari menjauhi kerumunan sambil menangis tersedu-sedu. Sedangkan aku diam di tempat, berusaha menetralkan perasaanku yang terus berkecamuk.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H