Lihat ke Halaman Asli

Kharisma Wardhatul Khusniah

Pencari pengalaman

Konsep Ibnu Khaldun Terkait Agama Sebagai Unsur Perubahan Masyarakat

Diperbarui: 16 September 2020   09:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir dan ilmuwan muslim yang berasal dari Tunisia, Afrika pada abad pertengahan. Pemikirannya dianggap murni dan baru pada zamannya, Khaldun menguasai berbagai bidang Ilmu Pengetahuan, seperti sejarah, sosiologi dan politik. Karyanya tidak hanya menjadi khazanah bagi keilmuan Islam, melainkan juga menjadi referensi bagi ilmuwan dan sosiolog Barat. Diantara pemikirannya yang terkenal adalah konsep ‘ashabiyah, badawah dan hadharah yang berkaitan dengan agama sebagai unsur perubahan masyarakat.

Konsep ‘Ashabiyah dan Klasifikasinya

            Secara etimologi al-‘ashabiyah berasal dari kata ‘ashaba yang berarti mengikat. ‘Ashabiyah juga dapat diartikan qarabah yang berarti pertalian keluarga atau beberapa literatur menyebutnya solidaritas sosial. Teori ini menjelaskan bagaimana suatu kelompok sosial berperan dalam pembentukan negara, kejayaan hingga keruntuhannya. ‘Ashabiyah terdiri dari individu-individu yang berkelompok atas dasar kebutuhan interaksi sosial dalam mempertahankan hidupnya, seperti memperoleh makanan, mendapatkan pekerjaan, hingga kebutuhan untuk saling melindungi diri dari bahaya.

            Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ‘ashabiyah kedalam dua karakter yang berbeda. Pertama adalah badawah atau badui, yakni masyarakat yang tinggal di wilayah pedalaman atau berpindah-pindah tempat (nomaden); dan kedua adalah hadharah yakni masyarakat yang hidup di perkotaan, atau yang dianggap “telah memiliki peradaban”.

            Kondisi dan cara hidup kedua ‘ashabiyah´tersebut dipengaruhi oleh letak geografis tempat tinggal mereka. Badawah yang tinggal di pedalaman atau berpindah-pindah, bertahan hidup dengan bercocok tanam dan beternak. Ada kalanya ketika harus berpindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya, satu suku badawah harus melawan suku badawah lainnya untuk berebut air, atau mempertahankan kelompok dan wilayahnya. Pola hidup yang demikian membuat kelompok badawah memiliki perasaan senasib sepenanggungan, atau ikatan solidaritas ('ashabiyah) yang sangat kuat. 

            Di lain sisi, kelompok hadharah yang tinggal di perkotaan dengan kehidupan sosial yang sudah lebih maju, mereka bertahan hidup dengan berdagang dan melakukan produksi manufaktur. Konsep hadharah merupakan manifestasi dari peradaban masyarakat yang lebih kompleks, tinggal menetap, beradaban lebih modern, tetapi solidaritas antar individu lemah. 

             Menurut Khaldun, gerak peradaban suatu masyarakat dapat diukur dengan melihat tinggi rendahnya kadar ashabiyah yang ada dalam masyarakat tersebut. Perbedaan cara mereka bertahan hidup dan berinteraksi sosial sangat berpengaruh pada cara mereka memandang diri mereka sebagai individu ataukah kelompok. Sehingga semakin modern suatu masyarakat, semakin lemah ashabiyyah masyarakat tersebut.

             Khaldun menggambarkan suatu dialektika sejarah dimana masyarakat badawah dengan karakter dan kepribadian yang kuat akan dapat mengalahkan masyarakat hadharah yang secara karakter sosialnya lemah. Maka lambat laun golongan badawah yang mengalahkan golongan hadharah akan bertransformasi menjadi masyarakat hadharah itu sendiri. Teori Khaldun tersebut telah terbukti di era saat ini dimana masyarakat pedesaan berbondong-bondong pergi ke kota (urbanisasi) dengan cita-cita besar untuk mengejar peradaban modern. Seketika kembali ke asalnya, mereka justru memodernisasi ashabiyahnya dengan cara hidup kekotaan. Ibnu Khaldun memandang bahwa sebuah bangsa mengalami metamorfosis sebanyak tiga kali, dan setiap tahapan metamorfosis tersebut membutuhkan waktu 40 tahun. Jadi kelahiran hingga kehancuran sebuah bangsa menurut Khaldun membutuhkan waktu selama 120 tahun.

 Agama sebagai Unsur Perubahan Masyarakat 

Selain klasifikasi berdasarkan karakter seperti diatas, Khaldun juga membagi ‘ashabiyah berdasarkan dua pengertian yang berbeda. Pertama, pengertian ‘ashabiyah bermakna positif dengan menunjuk pada konsep persaudaraan (brotherhood). Dalam sejarah peradaban Islam konsep ini membentuk solidaritas sosial masyarakat yang saling bekerjasama dan mengesampingkan kepentingan pribadi. Kedua, pengertian ‘ashabiyah yang bermakna negatif yaitu kesetiaan dan fanatisme buta yang tidak didasarkan pada kebenaran.

            Konsep inilah yang tidak dikehendaki dalam sistem pemerintahan Islam, karena akan mengaburkan nilai kebenaran yang diusung dalam prinsip-prinsip agama. Menurut Abbas Sofwan, argumentasi mendasar diperlukannya ashabiyyah adalah: Pertama, teori tentang terbentuknya negara berdasarkan realitas kesukuan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak mungkin mendirikan sebuah negara jika tidak didukung dengan perasaan persatuan dan solidaritas yang kuat. Konsep ini mirip dengan konsep perjanjian sosial yang digagas leh Thomas Hobbes. Kedua, proses pembentukan negara itu harus melalui perjuangan yang berat dan keras. Jika suatu kelompok tidak mampu menundukkan lawannya, maka mereka sendiri yang akan kalah dan negara tersebut akan hancur. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline