Lihat ke Halaman Asli

Kharisma Wardhatul Khusniah

Pencari pengalaman

Belajar Melihat dan Mendengar dari Seorang Tuli dan Buta

Diperbarui: 19 April 2020   15:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Helen Keller, seorang perempuan yang cerdas dan tegas dari abad 19, menceritakan kisah hidupnya dengan keterbatasan indera yang ia alami sejak usia 19 bulan. Lahir di Tuscumbia pada 27 Juni 1880, Helen lahir seperti kebanyakan bayi lainnya, dapat melihat dan mendengar. 

Tapi saat usianya menginjak 19 bulan, tiba-tiba sebuah penyakit menyerangnya, dan membuat indera penglihatan dan pendengarannya tak berfungsi selamanya. Seperti ketakutan sebagian besar manusia pada kegelapan dan kesunyian yang panjang, Helen bagai terdampar pada mimpi abadi. Hanya kengerian yang bisa dirasakan oleh Helen kecil saat itu.

Komunikasi merupakan kebutuhan mendasar setiap manusia sebagai zoon politicon. Media dan metode yang digunakan untuk berkomunikasi setiap kelompok masyarakat pun berbeda-beda. Seperti halnya Helen kecil yang karena keterbatasan pendengarannya tak punya banyak kosakata untuk menyampaikan keinginannya pada orang lain juga untuk memahami sekitarnya. Selama ini dia hanya menggunakan bahasa isyarat tak resmi, yang mungkin hanya ia dan ibunya dan beberapa teman bermainnya saja yang dapat memahami keinginannya.

Saat hasrat mengekspresikan dirinya semakin besar, isyarat yang digunakan selama ini tidak lagi memadai. Kegagalan untuk membuat orang lain memahami dirinya seringkali menimbulkan ledakan-ledakan amarah. Hal ini terjadi sampai kedua orang tua Helen membawa seorang guru yang lembut dan penuh cinta kepadanya. 

Nona Anne Sullivan, seorang pengajar yang dikirim dari Perkins Institution di Boston untuk mulai mendidik Helen. Ia pulalah yang nantinya akan membangkitkan jiwa dan membuka cakrawala pemikiran seorang Helen Keller dengan cinta dan kasihnya.      

Bagi sebagian besar manusia, kelengkapan indera adalah segalanya. Bahkan konstruksi sosial kita selalu mendeferensiasi "perbedaan" tersebut sebagai ke-"sempurna"-an dan ke-tidak-"sempurna"-an. Padahal setiap penyandang disabilitas punya kemampuan dan potensi yang sama besarnya dengan kita yang memiliki indera yang lengkap. 

Bagi Helen, perbedaan anatara orang buta dan yang bisa melihat bukanlah pada inderanya, tapi bagaimana kita memakainya. Yang berbeda adalah imajinasi dan keberanian yang kita gunakan untuk mencari pengetahuan yang melampaui indera kita (hlm. 285).

Disabilitas Lebih Butuh Akses daripada Bantuan Sosial

Hal yang awalnya mengagumkan bagi saya dari kisah Helen ini adalah bahwa Amerika di abad 19 sudah menerapkan konsep pendidikan inklusif serta kesamaan kesempatan, bahkan sebelum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengakui hak-hak penyandang disabilitas. 

Dalam konteks Indonesia hari ini, sangat sulit menemukan perempuan buta seperti Helen yang dapat mengikuti pendidikan formal tinggi dan berprestasi. Ah, jangankan berprestasi, menemukan sekolah inklusif saja tak mudah, belum lagi biaya pendidikan yang tinggi untuk sekolah inklusif tersebut malah menjadikannya eksklusif bagi golongan ekonomi tertentu.

 Apresiasi dan perlindungan negara terhadap kelompok penyandang disabilitas juga belum bisa dibilang baik. Pemerintah dalam peraturan-peraturanya terkait penyandang disabilitas masih banyak menggunakan pendekatan charity-based atau pendekatan belas kasihan. Kecacatan bagi pemerintah hanya dianggap sebagai sebuah ketidakberdayaan yang dikarenakan kondisi fisiknya sehingga membutuhkan bantuan, maka solusi yang diberikan adalah dalam bentuk bantuan kesejahteraan sosial dan kebijakan kesehatan preventif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline