Lihat ke Halaman Asli

Dwi Permata

Nusantara Series

Petasan sebagai Simbol Memasuki Bulan Ramadan?

Diperbarui: 16 April 2021   13:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi petasan. (Foto : TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat) 

Bulan Ramadan identik dengan bunyi petasan yang setiap malam dimainkan anak-anak setelah pulang dari shalat tarawih. Membakar petasan saat bulan Ramadan merupakan tradisi yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari budaya masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas membakar petasan dipilih oleh anak-anak muda untuk menyemarakan bulan Ramadan ini, semangat kebanyakan generasi muda yang menggebu-gebu tak  jarang menyemarakan masuknya bulan Ramadan lewat dar...der...dor suara petasan. Membakar petasan entah diperuntukan membangunkan orang-orang sahur, menanti beduk magrib, hingga menyambut hari lebaran. Sekalipun tradisi ini cukup bahaya dan bukan syariat Islam, nyatanya tradisi ini menyebar dengan cepat ke seluruh Indonesia dan telah hadir sejak dahulu kala.

Salah satu bukti terkait gambaran pengalaman bermain petasan zaman kolonial, terdapat dalam otobiografi Muhamad Radjab yang berjudul Semasa Kecil di Kampung 1913-1928 (1950), baginya bulan puasa akan terasa istimewa jika terdapat tradisi membakar petasan. Dahulu diawal-awal bulan puasa hanya sedikit penjual petasan namun saat mendekati lebaran semakin banyak yang berjualan. Hal yang sama pun terjadi pada masa kecil Bung Karno cerita ini diungkap oleh S. Kasbiono dalam Bung Karno : Bapak Proklamasi Indonesia (2003). Pada masa kecilnya Bung Karno hanya mengintip orang-orang bermain petasan lewat lubang kecil dikamarnya. Hatinya menjadi sedih, dari tahun ke tahun tidak bisa bermain petasan. Namun suatu hari, kenalan dari bapaknya memberikan hadiah petasan kepadanya. Itulah hadiah yang bermakna yang pernah diterimanya seumur hidup hingga tidak bisa melupakannya. Cerita dari Bung Karno menjadi bukti bahwa petasan menjadi permainan yang sudah dimainkan oleh anak-anak sejak dahulu saat Ramadan dan menjelang lebaran.

Tradisi petasan awalnya dibawa oleh China ke Batavia, hal ini terbukti hingga saat ini tradisi membakar petasan masih digunakan dalam berbagai ritual adat orang China, seperti Cap Go Meh dan Sin Cia. Saat ini suara petasan sudah sangat jarang terdengar di bulan Ramadan, karena adanya pelarangan dan dianggap mubadzir. Hal ini berbeda pada saat zaman kolonial yang menganggap bahwa tradisi membakar petasan menunjukan kekayaan seseorang. Tradisi membakar petasan juga dilakukan pada malam natal, tahun baru, lebaran dan beberapa ritual adat masyarakat China Betawi. Semakin banyak sampah bekas pembakaran petasan dirumahnya semakin dianggap kaya.

Petasan yang awalnya dikenalkan oleh orang China, secara perlahan-lahan mulai digunakan oleh masyarakat Betawi untuk keperluan perkawinan, khitanan, keberangkatan haji dan acara-acara penting lainnya. Tradisi petasan dalam masyarakat Betawi telah mengadopsi konteks dari orang China untuk mengusir hal-hal tidak baik, oleh masyarakat Betawi makna pembakaran petasan dimodifikasi sebagai bentuk rasa syukur dan simbol status sosial. Dampak positif ataupun negatif sangat situasional, asalkan bertanggung jawab makan tradisi tersebut akan tetap lestari.

Meskipun demikian, perbedaan pandangan antara generansi muda dengan generasi tua tetap ada mengenai pembakaran petasan. Generasi tua menganggap suara petasan mengganggu karena merusak hakikat Ramadan yang tenang karena mengedepankan beribadah . Sementara generasi muda menganggap hal tersebut adalah aktivitas yang menyenangkan sebagai hiburan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline