Bulan yang kedatanganya dinanti oleh jutaan penduduk Bumi, dan kepergiannya meninggalkan cucuran air mata bagi mereka yang haus dengan ampunan Ilahi. Tak terasa baru kemarin datangnya. Kini sudah berada di penghujung bulan. Dan sebentar lagi akan meninggalkan kita. Bulan yang sangat istimewa dari bulan lainnya. Allah menjanjikan berbagai macam pahala kepada hambanya yang bersungguh-sungguh mencari ridho serta ampunan hanya kepadanya semata. Bulan ramadahan pula sebagai hadia Allah kepada Umat Muhammad SAW. Dengan melipat gandakan pahala setiap gerakan amal baik yang di lakukakannya. Sehingga, tidak ada alasan untuk bermalas-malasan dalam merajut Mahabbah sang pemilik Alam raya ini. Setiap waktunya raga kita sibuk berkhidmat kepada Alam yang Nisbi ini. Kini saatnya istrahat dari aktivitas Duniawi. Untuk kembali mencari Cinta dan ampunan Tuhan yang luas tak tertara ini. Di sepuluh hari terakhir ada waktu yang keistimewaannya dilebihkan dari hari-hari yang lain. Waktu yang lebih baik dari seribu bulan. Sehingga para sahabat dan ulama salaf dahulu. Di penghujung ramadahan berlomba-lomba ke mesjid dalam rangka merefleksikan jiwa dan raga merenung kembali kehidupan yang selama ini di lalui. Dalam Tradisi baginda Nabi SAW. di di penghujung Ramadhan ada sebuh amalan yang selalu dikerjakan oleh Nabi Saw. Sebagaimana dalam beberapa hadits Bukhari disebutkan. Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatkan Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu. Secara bahasa I’tikaf diambil dari kata dasar al ‘Ukuuf. Kata kerjanya adalah ‘a-ka-fa, ya’-ku-fu. artinya “tetap pada sesuatu tempat serta manahan diri padanya. Apakah dalam kebaikan ataupun dalam keburukan”. Atau juga berdiam di suatu tempat dengan Niat bermunajat kepada Allah SWT. Belajar dari ruhiyah Nabi dan para Sahabat yang Mulia. kita perlu berhenti sejenak, untuk melakukan muhasabah kehidupan: Taqarrub Ilallah secara total dengan melepaskan segala kepenatan yang mengurangi ketajaman hati, membebaskan diri dari rutinitas yang mengurangi kepekaan spiritual, mengurangi beban hidup yang menguras stamina, membuka peta perjalanan hidup melihat jauh-dekat jarak yang telah kita tempuh dan sisa waktu perjalanan yang mesti dilalui; hasil-hasil yang telah kita raih; rintangan apa saja yang mungkin menghambat pencapaian; memandang ke lingkungan sekitar dll. Dengan demikian, setidaknya, Visi kita perlu di perlu dirumuskan sebagai berikut : Pertama, memantau keseimbangan antara berbagai perubahan lingkungan dan kondisi internal diri kita. Fakta menyatakan bahwa ligkungan kita, masyarakat kita, Negeri kita, kini, memiliki karakter yang tidak stabil. Berbagai perubahan terjadi dalam durasi dan tempo yang sangat cepat. Termasuk juga pada sistem nilai dan orientasi hidup. Kedua, mengisi ulang re-fill hati dan batin kita dengan energi ruhiyah sekaligus membersihkan debu-debu yang telah melekat. Fakta menyatakan kita ini mengalami seleksi secara kontinyu, sehingga tidak sedikit diantara kita yang jatuh tertatih dalam menjalani hidupnya. Kaya harta, miskin jiwa. Terpuji kedudukan, buruk moral. Miskin harta sekaligus miskin jiwa. Inilah yang dilakukan Rasulullah SAW. ketika bertahannus di gua Hirâ’ mengawali langkah ikhrâj al-nâs min al-dhulumât ilâ al-nûr. Sehingga, momentum I’tikaf sebagai renungan dan reorentasi hidup yang perlu di setting kembali. Karena sejatinya muhasabah yang kita lakukan adalah merupakan manifestasi hidup yang sangat berarti bagi kita. Baik itu didunia maupun di kehidupan akherat kelak. Allah Berfirman. Maha suci Allah yang ditangan-Nyalah segalah kerajaan. Dan dia maha kuasa atas segalah sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, iapa di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan dia maha perkasa dan maha pengampun” Kira-kira itulah, pada titik penghayatan terdalam seseorang yang beragama. Aliran hedonisme menganggap hidup bermakna selama ia memberikan kenyamanan dan kenikmatan. Oleh karena itu mereka yang meyakininya sangat getol mengarahkan segala aktivitasnya untuk mengejar kenikmatan duniawi. Jelas, pandangan ini tidak sejalan dengan spirit agama, karena kaum Hedonis memberikan harga dan makna hidup sebatas pada capaian nikmat fisik. Tentunya durasi kenikmatan fisik, betapapun kemegahannya, amatlah terbatas. Islam mengajarkan bahwa kehidupan hakiki dan abadi ialah kehidupan akherat. Dunia menjadi ladang investasi dan medan berkarya untuk meraih kehidupan yang kekal itu. Dunia bukan tujuan, melainkan sebuah ruang transit, untuk kemudian meneruskan perjalanan ke negeri akherat. Memang tidak mudah menjadi seorang “pemenang”, butuh kesungguhan menaklukkan hawa nafsu syaitania. Para Nabi dalam sejarah, hidupnya terintimidasi di kucilkan dari masyarakat. Hanya karena mempertahankan mahabbah Tuhan-Nya. Sekarang di penghujung Ramadan kita di ajak melalui seruan suci, untuk kembali merenung arti dari hakikat manusia di ciptakan di muka bumi ini. “Tidak kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyemba kepadaku”. (QS: Adz-Dzaariyat 56). Inilah sebenarnya tujuan pokok penciptaan. Sehingga, sesibuk apapun kita. Tidak seyogyanya lalai dari mengingat kepadanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H