Lihat ke Halaman Asli

Penundaan Pemilu 2024, Apakah Bisa Dilaksanakan?

Diperbarui: 9 Juni 2022   08:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu terakhir ini, banyak isu yang muncul terkait desas - desus penundaan pemilu yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2024 karena dampak pandemi Covid-19 serta berbagai alasan yang mendukung adanya perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi 3 periode. Isu perpanjangan masa jabatan ini menuai berbagai polemik yang tidak jarang terdapat pihak yang menolak keras serta terdapat pihak yang mendukung wacana tersebut. Beragam bentuk protes untuk menolak wacana tersebut sudah banyak digaungkan pada media sosial serta terdapat bentuk demo penolakan yang dilakukan mahasiswa Semarang yang berujung membuat suasana tidak kondusif. Kemudian, terdapat ungkapan yang diutarakan oleh Jokowi terkait isu yang sedang beredar bahwa beliau sendiri tidak ingin atau menolak adanya 3 periode untuk masa jabatannya. Beliau mengutarakan apabila hal tersebut terjadi sama saja seperti menjerumuskannya. Jokowi juga berpendapat fokus utama yang sedang dihadapi Indonesia saat ini ialah pemulihan dari pandemi Covid-19 serta beliau meminta agar semua orang tidak membuat kegaduhan yang membuat suasana negara tidak kondusif.

Selanjutnya, dengan adanya perpanjangan masa jabatan menjadi 3 periode dapat melanggar pasal 7 dalam UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memiliki masa jabatan selama 5 tahun dan hanya bisa diperpanjang sebanyak 1 kali saja. Dengan adanya pernyataan tersebut apabila tetap terjadi perpanjangan masa jabatan untuk 3 periode dapat disebut dengan inkonstitusional. Serta, masa jabatan yang perpanjang tidak menutup kemungkinan adanya pihak-pihak yang superior dan dapat berlawanan dengan semangat reformasi Indonesia. Meskipun demikian, wacana dalam melakukan amandemen UUD 1945 jika jadi untuk dilaksanakan pada dasarnya bukan membahas perpanjangan masa jabatan presiden tetapi lebih membahas masalah pokok seperti penataan kembali lembaga negara melalui GBHN.

Dengan adanya, wacana perpanjangan masa jabatan menjadi 3 periode dapat menimbulkan prahara perpecahan apabila tidak diberi ketegasan karena berdasarkan konstitusi memberikan mandat masa jabatan maksimal hanya 2 periode. Serta, penundaan pemilu yang disinyalir karena masih masa pemulihan dari pandemi Covid- 19 seharusnya dipertimbangkan kembali. Sebab, beberapa waktu terakhir ini Indonesia sudah dapat melandaikan kasus yang terjadi pada berbagai daerah. Kemudian, untuk keamanan pelaksanaan pemilu mungkin bisa mulai dipertimbangkan kembali karena masih terdapat waktu 2 tahun tersisa untuk mematangkan pemilu yang tidak membawa kluster baru dari Covid-19.

Kemudian, pemberitaan yang beredar terkait masa jabatan presiden selama 3 periode ini terlalu diperpanas oleh pihak yang mendukung wacana tersebut sehingga menyebabkan kesalahan persepsi oleh orang yang awam atau tidak tahu awal permasalahan. Keinginan masyarakat yang mendukung wacana masa jabatan 3 periode tersebut sejatinya sama saja dengan melakukan inkonstitusi sebab sudah terdapat peraturan yang mengatur terkait masa jabatan presiden. Akan tetapi, juga banyak yang beranggapan bahwa tanggapan yang diberikan oleh Presiden Jokowi menimbulkan suatu kecurigaan rezim pemerintahan yang ingin mengubah konstitusi demi menambah masa periode presiden. Kemudian, semakin banyaknya statement wacana perpanjangan masa jabatan yang beredar secara luas semakin membuat kepercayaan masyarakat menurun dan menyuarakan hak berpendapat mereka pada berbagai platform. Tidak menunggu lama, Jokowi segera memberikan klarifikasi kembali bahwa konstitusi Indonesia sudah jelas sehingga tidak ada yang harus di khawatirkan untuk keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apabila, ditelusuri lebih lanjut untuk berita wacana yang sedang hangat dibicarakan ini sejatinya merebak secara luas karena beredarnya berita yang simpang siur. Hal tersebut, dapat membuat masyarakat Indonesia terjebak oleh hoax dan dapat menimbulkan perpecahan. Serta, untuk pihak yang menginginkan adanya masa jabatan 3 periode harus memikirkan kembali bahwa konstitusi Indonesia tidak menghendaki adanya masa jabatan yang lebih dari 2 periode. Seharusnya, sebelum bertindak maupun menyuarakan suatu pendapat sebagai seorang warga negara Indonesia harus memikirkan pendapat yang diberikan sudah sesuai atau bertentangan dengan suatu peraturan yang sudah berlaku. Kemudian, untuk pihak yang tidak setuju terkait dengan masa jabatan presiden yang diperpanjang harus dengan cara yang tidak anarkis untuk menyuarakan pendapatnya.

Solusi pelaksanaan yang dapat dicapai dalam menghadapi isu ini yaitu dengan adanya diskusi publik. Dengan melaksanakan diskusi publik dapat memecahkan suatu permasalahan dengan terbuka, transparan, serta untuk menghindari suatu berita yang bersifat hoax dan dapat semakin menyesatkan perspektif masyarakat. Apabila, memang akan ada masa jabatan sebanyak 3 kali periode dapat mengingkari dari semangat reformasi yang berfokus pada 2 kali masa jabatan untuk menghindari adanya pihak yang berkuasa secara otoriter dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, tindakan masyarakat yang kritis terhadap pengawasan keberlangsungan pemerintahan Indonesia patut diapresiasi tetapi dalam mengkritisinya harus sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat pada peraturan perundang-undangan serta tidak membuat keadaan menjadi anarkis.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline