Lihat ke Halaman Asli

Channah Auliya Rizqi

Mahasiswa Bahasa Sastra dan Seni

Sebastian (Semangat Membaca Seminggu Setiap Bulan) sebagai Satu Program Galakkan Literasi Anak Negeri

Diperbarui: 22 September 2022   06:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar Ilustrasi : SAMBIROTO.NGAWIKAB.ID

“Buku rupanya mengubah takdir orang, orang mengubah takdir buku-buku.” (Carlos Maria Dominguez)

“Buku adalah sebuah portal sihir.” (Stephen King)

            Miris adalah kata yang tepat dalam penggambaran moral pemuda-pemudi saat ini. Dimana hidup dianggap sebagai dunia fantasi. Sedangkan perilaku mereka semakin menjadi-jadi. Sesuatu yang berbau kata “baik” dianggapnya “buruk”, begitupun sebaliknya. Seiring berkembangnya teknologi banyak pemuda-pemudi yang tidak memperhatikan etika dan aktivitas yang dilakukan. Bahkan, berbagai macam buku mereka lupakan. Seakan hidupnya tidak butuh ilmu pengetahuan. Memang, di era digital saat ini pemuda-pemudi bisa menambah ilmu pengetahuan melalui jaringan internet. Namun, apakah semua pemuda-pemudi di Indonesia menggunakan internet dengan cara yang positif ?. Jawabannya pasti tidak, lantaran hanya 1001 pemuda-pemudi yang mengaplikasikan internet dengan positif.

            Pemuda-pemudi saat ini, lebih berpacu pada game. Sementara sesuatu yang berbau kertas sudah tidak dihiraukan lagi. Hal itulah yang membuat dunia literasi di indonesia kini semakin menurun. Saat itulah pemuda-pemudi tak lagi memiliki minat baca. Namun, mereka lebih suka nongkrong di cafe tanpa alasan. Seperti contoh di daerah Gresik, Jawa Timur. Dimana, “Kota Sejuta Warung Kopi” adalah julukan istimewa bagi kota Gresik. Memang, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa kopi adalah sumber inspirasi. Akan tetapi, mereka lupa bahwa inspirasi juga membutuhkan sebuah literasi.

            Menurut survei sosial dan ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS, 2015) pembaca surat kabar hanya 13,1 %, sementara penonton televisi mencapai 91,5%. Adanya faktor rendahnya literasi menggambarkan sebagai rendahnya pendidikan seseorang. Karena tanpa membaca, kita akan sulit memperoleh ilmu pengetahuan. Rendahnya literasi di Indonesia disebabkan oleh faktor waktu pula. Dimana masyarakat Indonesia masih tidak bisa mengatur waktu aktivitas mereka.

          Jika dikaji, waktu mereka banyak yang terbuang sia-sia. Bahkan, waktu untuk belajar seperti membaca pun terkikis cuma-cuma.  Sebagian dari mereka tidak sadar bahwa pemuda-pemudi Indonesia adalah generasi penerus bangsa. Dimana seharusnya mereka menorehkan perilaku positif dalam setiap langkahnya. Jika hanya perilaku negatif yang mereka torehkan. Pada akhirnya berjuta mimpi-mimpi besar akan membusuk hanya berupa konsep belaka. Adanya faktor teknologi itulah yang membuat sebagian dari mereka lalai bahwa budaya membaca itu penting, dan harus tetap dilestarikan.

          Di Kabupaten Gresik, Jawa Timur sudah terdapat program yang menumbuhkan minat baca pemuda-pemudi. Tempat ini dijuluki Rumah baca “Asma Nadia Man jadda Wa Jadda”. Rumah baca yang aktif sejak tahun 2015 ini, terletak di kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik. Dari “Rumah Baca Asma Nadia” ini terpilih salah satu pelaksana utama program taman literasi (Tali Integrasi), oleh pusat Edukasi Anti Korupsi. 

         Dalam hal ini, program yang menumbuhkan minat baca seperti rumah baca ini seharusnya dibentuk di setiap desa. Tujuannya agar remaja-remaja dapat mengisi waktu luangnya dengan menambah pengetahuan di rumah baca tersebut. Memang jarang ditemukan jika setiap desa mempunyai program tersebut. Padahal jika terdapat program tersebut tentu sangat bermanfaat bagi masyarakat. Konteks ilmu yang bisa dipelajari masyarakat pun bukan hanya tentang ilmu pengetahuan umum saja. Tetapi, bisa dimanfaatkan untuk belajar ilmu agama juga secara bersama-sama.

Nasi Belum Menjadi Bubur

         Perilaku positif adalah ajang untuk mencintai Indonesia. Namun, berperilaku positif tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terdapat sejuta godaan yang menjerumuskan kepada perilaku negatif. Seperti contoh masalah minat baca di era 5.0 yang sudah dibahas sebelumnya. Dimana keberadaan buku seolah-olah tak memiliki nilai lagi. Beraneka kegiatan di masyarakat yang bernuansa rumah baca memang sudah nampak umum. Akan tetapi, masih sedikit pemuda-pemudi yang meluangkan waktunya untuk memanfaatkan rumah baca tersebut. Padahal keberadaan rumah baca sangat bermanfaat. Khususnya untuk mengisi waktu luang masyarakat dengan perilaku yang positif. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan minat baca pada generasi muda melalui rumah baca.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline